Arif Alvi, Presiden Pakistan. (Wikimedia.org/Government of Pakistan)
Pada penghujung tahun 2020, pemerintah Pakistan telah mengeluarkan peraturan sementara yang tunduk pada ratifikasi parlemen menjadi undang-undang permanen. Peraturan tersebut memiliki fungsi untuk memperkuat undang-undang anti pemerkosaan dan dukungan pengebirian kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual berantai.
Dalam peraturan tersebut, melansir dari Al Jazeera, Menteri Hak Asasi Manusia Pakistan, Shireen Mazari juga melarang penggunaan “tes dua jari”. Dukungan juga diberikan oleh Presiden Pakistan, Arif Alvi, untuk melarang praktek tes keperawanan itu.
Tes keperawanan, baik yang dilakukan dengan tujuan “menentukan kehormatan perempuan” ketika akan menikah atau ketika terjadi kejahatan seksual, justru seringkali digunakan untuk merendahkan martabat para penyintas.
Divisi HAM PBB, UN Women, dan WHO pernah membuat pernyataan bersama yang isinya adalah ketika evaluasi korban pemerkosaan dan keperawanan diuji, tindakan tersebut tidak ada hubungannya apakah pemerkosaan terjadi atau tidak. Dalam tes keperawanan juga tidak ada prediksi seberapa traumatis atau parahnya efek perkosaan terhadap seseorang.
Justru karena adanya tes keperawanan, hal itu menjadikan seorang perempuan menjadi trauma. Hasil dari tes keperawanan biasanya berdampak pada keputusan pengadilan dan sering merugikan korban. Akibatnya korban kehilangan kasusnya dan pelaku justru bebas dari jerat hukum.