Bendera Thailand. (Unsplash.com/Dave Kim)
Sunai Phasuk, peneliti senior di Human Rights Watch (HRW) di Thailand, menyebut keputusan pengadilan mengejutkan dan mengecewakan karena mengabaikan kewajiban internasional negara tersebut dan hukumnya sendiri yang melarang pemulangan.
"Pihak berwenang Vietnam memiliki catatan panjang dalam memperlakukan pembangkang politik dengan buruk, terutama mereka yang masuk dalam daftar buronan seperti Y Quynh Bdap. Jadi, ada kekhawatiran bahwa ia akan diperlakukan buruk di dalam tahanan pihak berwenang Vietnam; termasuk penyiksaan, termasuk penghilangan paksa," katanya, dikutip dari VOA News.
Pada Mei, HRW menerbitkan laporan terperinci yang menuduh Thailand semakin berbahaya bagi pencari suaka asing selama dekade terakhir dengan terlibat dalam “pasar tukar” informal dengan negara-negara tetangga, yang secara paksa memulangkan para pembangkang satu sama lain, mengambaikan apakah mereka akan ditangkap, disiksa atau dibunuh di negara asal.
Negara tersebut telah memiliki undang-undang antipenyiksaan pada 2022, yang memunculkan harapan praktik tersebut akan berkurang. Namun, Sunai mengatakan kasus Bdap merupakan ujian besar pertama atas klausul pemulangan paksa dan negara itu gagal.
“Putusan pengadilan hari ini tidak hanya membahayakan nyawa Y Quynh Bdap, tapi juga menjadi preseden yang sangat berbahaya. Sekarang, pada dasarnya, pemerintah asing yang represif dapat bekerja sama dengan otoritas Thailand untuk memburu dan mengekstradisi para pembangkang yang tinggal di pengasingan di Thailand karena Thailand tidak dapat menjamin keselamatan mereka.”
Sunai meminta negara-negara yang mendukung tawaran Thailand saat ini untuk mendapatkan kursi bergilir di Dewan Hak Asasi Manusia PBB harus menggunakan dukungan mereka sebagai daya ungkit untuk mendesak pemerintah agar tidak melanjutkan ekstradisi. Beberapa pakar hak asasi independen PBB juga mendesak untuk menolak permintaan ekstradisi tersebut.