Kasus penggelapan pajak itu bermula dari tuduhan badan pendapatan negara Filipina, Securities and Exchange Comission, pada 2015 lalu. Rappler dianggap melanggar ketentuan konstitusional yang melarang kepemilikan dan kontrol asing atas perusahaan media di Filipina.
Media itu dituding telah menggelapkan pajak dari dari dana investor asing, di antaranya Omidyar Network dan North Base Media. Itu kemudian menjadi dasar regulator sekuritas untuk mencabut lisensinya.
Pengadilan pajak mengatakan dalam putusannya bahwa mereka membebaskan Ressa dan Rappler karena kegagalan penuntut untuk membuktikan kesalahan Rappler tanpa keraguan. Pengadilan memutuskan bahwa surat-surat keuangan yang digunakan untuk membayarkan dana itu tidak kena pajak. Departemen Kehakiman Filipina mengatakan telah menghormati keputusan pengadilan.
Ressa berada dalam jaminan saat dia mengajukan banding atas hukuman penjara 6 tahun yang dijatuhkan pada 2020 lalu karena tuduhan lain, yakni pencemaran nama baik. Selama ini, dia telah melawan serangkaian tuduhan hukum pemerintah sejak 2018 lalu.
Dia menggambarkan hal itu sebagai bagian dari pola pelecehan. Penderitaanya telah memicu kekhawatiran internasional mengenai pelecehan terhadap media di Filipina, yang digambarkan sebagai salah satu tempat paling berbahaya di Asia bagi jurnalis.
Peneliti senior di Human Rights Watch, Carlos Conde, dalam sebuah pernyataan mengatakan ini merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden Filipina saat ini, Ferdinan Jr "Bongbong" Marcos. Dia harus memastikan bahwa semua wartawan melakukan pekerjaan mereka tanpa adanya rasa takut.