Presiden Belarusia yang bernama Alexander Lukashenko telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, usai pemilu yang dimenanginya pada Agustus 2020. Lebih dari 30.000 orang pro-demokrasi, ditangkap karena protes hasil pemilu yang dinilai curang.
Sejak itu, secara berkala UE telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemerintahan Belarusia. Inggris, AS dan Kanada juga mengikuti untuk menjatuhkan sanksi tersebut untuk menghukum tindakan perilaku Lukashenko.
Namun Lukashenko yang dijuluki "diktator terakhir Eropa" itu melawan balik. Dia dituduh memberi banyak visa kepada warga Irak dan Afghanistan yang ingin mencari suaka ke UE lewat negaranya.
Tindakan itu telah membuat ribuan migran terdorong untuk menerobos perbatasan Belarusia dengan beberapa negara tetangga. Lukashenko, dengan demikian, dituduh menggunakan migran sebagai senjata untuk melawan sanksi.
Dilansir dari Al Jazeera, Sviatlana Tsikhanouskaya, pemimpin oposisi Belarusa pekan lalu mengatakan bahwa Minsk menggunakan para migran dan pencari suaka dalam aksi "balas dendam terhadap Lithuania, Latvia dan Polandia karena mendukung kekuatan demokrasi independen, gerakan untuk perubahan di Belarus."
Menurut Tikhanovskaya, para migran telah disandera dalam situasi tersebut dan menyebut perilaku rezim Lukashenko "tidak bertanggung jawab dan tidak manusiawi."
Situasi paling tegang terjadi di perbatasan Belarusia-Polandia. Di wilayah ini, lima orang migran dan pencari suaka dilaporkan telah tewas karena kedinginan terjebak di perbatasan.