Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/REUTERS/Hannibal Hanschke

Brussels, IDN Times -  Pemilu Uni Eropa yang mulai berlangsung, Kamis (23/5) sampai Minggu (26/5), dibayangi oleh isu populis dari sejumlah tokoh penting di beberapa negara anggota. Misalnya, di Italia ada Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam Negeri Matteo Salvini.

Laki-laki 46 tahun tersebut memanfaatkan posisinya yang strategis untuk memenuhi janji kampanye seperti menghentikan perahu para pengungsi ketika mereka akan menuju Italia. Apalagi imigrasi menjadi salah satu isu yang disorot warga Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir.

1. Tidak mudah mendefinisikan populisme

ANTARA FOTO/REUTERS/Gonzalo Fuentes

Meski istilah populisme kerap dipakai dalam percakapan politik, tapi ternyata tak mudah mendefinisikannya. Michael Cox, dalam jurnalnya yang berjudul The Rise of Populism and The Crisis of Globalisation: Brexit, Trump and Beyond, menilai populisme sudah dijadikan istilah untuk merujuk kepada siapapun yang melawan status quo.

Cox sendiri mengkategorikan populisme ke dalam beberapa karakter. Pertama, ini mencerminkan kecurigaan mendalam terhadap penguasa sekarang. Kedua, di mata populis, penguasa tidak memimpin untuk kepentingan rakyat, melainkan sebaliknya. Ketiga, meyakini bahwa rakyat adalah jiwa bangsa yang sesungguhnya.

Alhasil, kekuasaan harus dikembalikan kepada mereka atau pemimpin yang dipercaya mewakili kepentingan rakyat, bagaimanapun retorika dan kebijakan yang diusungnya. Tak seperti anggapan selama ini bahwa populis hanya ada di kalangan konservatif, paham ini sesungguhnya bisa muncul di beragam spektrum politik, tak terkecuali sayap kiri.

2. Populisme membentuk diskursus tentang Uni Eropa saat ini

Editorial Team