Pasukan perdamaian PBB berjaga di Mali bagian tengah. (Twitter.com/MINUSMA)
Kekacauan politik di Mali mulai muncul secara signifikan pada tahun 2012 ketika Presiden Toure digulingkan. Kekosongan kekuasaan membuat kelompok pemberontak milisi jaringan al-Qaida dan ISIL berkembang di bagian utara Mali, di wilayah gurun Sahel.
Prancis membantu Mali dan beberapa negara tetangga untuk menghadapi ancaman tersebut di bawah operasi Barkhane, yang melibatkan lebih dari 5.000 personel militer Prancis.
Pada tahun 2015 sebuah perjanjian damai dibuat oleh tiga pihak yakni pemerintah, koalisi kelompok yang mencari otonomi di Mali utara dan milisi pro-pemerintah.
Tapi perjanjian damai itu gagal dan para milisi jaringan al-Qaida dan ISIS justru mulai memindahkan operasi di Mali bagian tengah sejak tahun 2016. Kehadiran mereka telah memicu peningkatan permusuhan dan kekerasan antar kelompok etnis.
PBB telah mengirimkan pasukan perdamaian di bagian tengah Mali untuk membantu mengendalikan situasi di bawah bendera MINUSMA (Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali).
Kekacauan politik di Mali tersebut terus berlangsung hingga kini. Sejak tahun 2020-2021, pemerintah Mali mengalami dua kudeta dan pemimpin kudeta tersebut adalah kolonel pasukan khusus Mali, Assimi Goita.
Melansir laman CNN, kudeta kedua Assimi Goita membuatnya menjadi Presiden Sementara Mali yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Banyak dari negara tetangga di Afrika Barat yang menolak kepemimpinan Goita dan menjadikannya kisruh diplomatik.
Dewan Perdamaian dan Keamanan Afrika (AU's Peace and Security Council) mendesak pemerintahan dikembalikan ke sipil dan tidak sepekat dengan kudeta militer yang dipimpin oleh Assimi Goita. AU menyerukan "pengembalian tanpa hambatan, transparan dan cepat ke transisi yang dipimpin sipil (dan) jika gagal, Dewan tidak akan ragu untuk menjatuhkan sanksi yang ditargetkan (kepada Mali)," katanya dalam sebuah pernyataan.
Dalam proses pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Assimi Goita sebagai Presiden Interim pada 7 Juni, Nicolas Haque dari Al Jazeera melaporkan bawha tidak ada satu pun pemimpin negara atau duta besar yang datang ke upacara tersebut.
"Mereka malah diwakili oleh diplomat junior. Ini adalah bentuk sanksi untuk mengatakan bahwa mereka tidak ingin melihat militer memimpin transisi ini," jelas Haque.