Pengunjuk rasa mengangkat tangan mereka, mewakili lima permintaan dari gerakan anti-pemerintah, saat pawai Hari Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Front Hak Asasi Manusia Sipil, di Hong Kong, pada 8 Desember 2019. NTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter
Krisis politik di Hong Kong dimulai ketika massa menolak adanya RUU Ekstradisi pada Juni lalu. Jika RUU itu sah, maka setiap orang yang dianggap bersalah bisa diekstradisi ke Tiongkok daratan. Penolakan secara masif terjadi karena mereka tak percaya pada sistem legal di Tiongkok.
Walau Hong Kong masih menjadi bagian dari Tiongkok, tapi secara hukum, pulau tersebut cukup otonom dengan memiliki undang-undang, hakim dan pengadilannya sendiri. Ini karena Tiongkok dan Hong Kong mengadopsi "one country, two systems" yang konsekuensinya adalah keduanya memiliki perbedaan dalam hal legislasi.
Masyarakat Hong Kong terbilang lebih pro-demokrasi dibandingkan mereka yang berada di Tiongkok daratan. Selebriti Hong Kong Denise Ho yang menolak RUU ekstradisi menilai "ini adalah momen yang sangat mengerikan bagi Hong Kong".
"Ini merupakan isu global sebab ini adalah hukum yang berdampak kepada aktivis HAM maupun anggota lembaga nonpemerintahan manapun yang datang ke Hong Kong dan melakukan sesuatu yang tak disukai oleh pemerintah Tiongkok," ujarnya, seperti dilansir South China Morning Post menjelang demonstrasi pada Juni kemarin.