Etnis Uighur di Xinjiang (Flickr.com/Todenhoff via Wikipedia.org)
Kementerian Luar Negeri RI telah mendiskusikan isu dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang dengan Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian, pada pertemuan tanggal 17 Desember lalu.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan keprihatinan berbagai kalangan di Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur, sementara Dubes China menyampaikan komitmen negaranya terhadap perlindungan hak asasi manusia dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.
"Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir di sela-sela acara Diplomacy Festival (DiploFest) di Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti dikutip dari situs Antara.
Walaupun merupakan isu dalam negeri China, imbuhnya, Kemlu menilai Kedubes China di Jakarta tampaknya ingin untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di China.
Sementara Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi menyebut persoalan suku Uighur sebagai masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat. Dia juga menyebut bahwa sebagian kecil dari warga Muslim Uighur di Xinjiang yang total 10 juta jiwa itu berpaham radikal dan ingin merdeka. "Pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah China, atasi," kata Jingqi kepada Antara.
Jingqi beranggapan tindakan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China. Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di China yang jumlahnya 23 juta jiwa menurut Jingqi.
Menurut dia, pemerintah China memperlakukan warga sama dan tidak membatasi umat beragama menjalankan ibadah.