Retno Marsudi Ungkap Keterlibatan Perempuan Penting dalam Diplomasi

Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) mengatakan bahwa citra perempuan di dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin positif.
Ia lantas memberikan contoh di mana Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres memilih perempuan untuk menjadi utusan khusus. Retno sendiri ditunjuk sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk isu air.
"Saya adalah orang Indonesia pertama yang ditunjuk sebagai utusan khusus Sekjen. Saya ingat betul proses ini memakan waktu hampir 2 tahun, dan mencari semua yang daftar negara-negara banyak. Sekjen PBB mengatakan 'i want a women' untuk duduk di situ," ujar Retno saat menghadiri Indonesia Millennial and Gen Z Summit (IMGS) 2024 di The Tribrata Darmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (23/10/2024).
Retno menjelaskan, belakangan ini muncul anggapan positif terhadap perempuan sehingga menjadi kebiasaan baru di PBB.
"Jadi di beberapa titik sudah ada sebuah kebiasaan baru, yang menempatkan perempuan sama. Kalau dulu, kalau laki atau perempuan pasti yang dipilih laki-laki. Sekarang ada sebuah situasi baru, kalau ada perempuan atau laki sama-sama kapasitasnya, orang cenderung pilih perempuan," tuturnya.
"Karena terbukti juga, sorry buat teman laki-laki bukan membandingkan ya. Pengalaman para senior-senior saya yang laki-laki mengatakan, perempuan itu lebih loyal, perempuan itu lebih kerja keras sekali, upayanya harus dua kali," lanjut Retno.
1. Diplomat sempat identik dengan pekerjaan laki-laki
Retno pun menjelaskan bahwa dulu ada anggapan diplomat merupakan pekerjaan yang identik dengan laki-laki. Sehingga diplomat yang berasal dari gender perempuan, hanya sedikit.
Ia mengisahkan bagaimana awal mula berkarier di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada 1986 silam. Saat itu, diplomat perempuan dibatasi, maksimal hanya 10 orang.
"Dunia ku, dunia diplomat adalah dunia laki-laki. Pada tahun 1986, pada saat saya masuk Kemlu, diplomat perempuan yang masuk itu maksimal 10 persen. Karena dunia itu adalah dunia laki-laki," ucap Retno.
Retno mengungkap, anggapan diplomat sebagai pekerjaan laki-laki karena dianggap tidak sesuai dengan kemampuan perempuan. Baik dari segi waktu, tempat, dan tingkat keberhasilan dalam bernegosiasi.
"Kenapa dibilang dunia laki-laki karena tidak ada batasan waktu, karena tidak ada batasan tempat dan sebagainya sehingga orang mempersepsikan bahwa itu nggak cocok buat perempuan. Ditambah kalau kita negosiasi ada persepsi yang salah yang mengatakan bahwa perempuan itu cepat menyerah," tuturnya.
Namun Retno mengaku bersyukur anggapan tersebut perlahan mulai menghilang. Bahkan, diplomat yang berasal dari gender perempuan saat ini jumlahnya seimbang dengan laki-laki.
"Sekarang kalau kita tarik dari tahun 1986 sampai 2024, setiap kita ada merekrut diplomat angkanya itu alhamdulillah sudah 50 persen, 50 persen. Sehingga kita sudah tidak bisa mengatakan bahwa dunia diplomat adalah dunia laki-laki," tegasnya.
Retno memaparkan, yang menjadi tantangan ke depan ialah bagaimana melibatkan perempuan dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, terutama di level pengambil kebijakan.