Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
bendera India (pexels.com/Studio Art Smile)

Jakarta, IDN Times - Ribuan diaspora India melakukan protes di lebih dari 130 kota di 25 negara pada Minggu (8/9/2024). Mereka menuntut keadilan atas kasus pemerkosaan dan pembunuhan  dokter magang di sebuah rumah sakit di kota Kolkata bulan lalu.

Protes dimulai dalam kelompok besar dan kecil di Jepang, Australia, Taiwan dan Singapura, sebelum kemudian menyebar ke kota-kota di beberapa negara Eropa. Sebanyak 60 protes direncanakan di Amerika Serikat (AS).

Aksi ini menambah gelombang demonstrasi yang sudah berlangsung di seluruh India setelah pembunuhan mahasiswi pascasarjana kedokteran yang berusia 31 tahun pada 9 Agustus. Seorang tersangka telah ditangkap bersama mantan kepala R.G. Kar Medical College, tempat korban menempuh pendidikan.

1. Sejumlah perempuan di Swedia nyanyikan lagu dalam bahasa Benggali

Di ibu kota Swedia, Stockholm, sejumlah perempuan yang sebagian besar berpakaian hitam berkumpul di alun-alun Sergels Torg. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Bengali dan memegang poster, menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan dan keselamatan bagi perempuan India.

“Berita tentang kejahatan keji yang dilakukan terhadap seorang dokter muda yang sedang bertugas saat bertugas membuat kita semua mati rasa dan terkejut atas kekejaman, kebrutalan, dan pengabaian terhadap kehidupan manusia,” kata Dipti Jain, salah satu penyelenggara protes global, dikutip dari Reuters.

Jain, yang kini merupakan warga negara Inggris dan alumni Calcutta National Medical College and Hospital, bulan lalu juga mengorganisir protes di Inggris.

2. Kasus pemerkosaan pada 2012 silam belum memberikan perubahan berarti

Jalanan di Kolkata juga dipenuhi oleh massa yang menuntut keadilan pada Minggu. Para pengunjuk rasa, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari segala usia, membentuk rantai manusia hingga memegang obor yang menyala, untuk mengungkapkan kemarahan dan kesedihan mereka terhadap korban, yang secara simbolis mereka beri nama "Tilottama" atau "Abhaya".

"Setiap kali saya memikirkan tentang penyiksaan, rasa sakit yang dialami putri saya pada malam itu, saya bergidik. Dia bermimpi untuk mengabdi kepada masyarakat. Sekarang, semua pengunjuk rasa ini adalah anak-anak saya," kata ibu korban pada rapat umum di Kolkata, seperti dikutip oleh kantor berita PTI.

Semenatara itu, Mahkamah Agung India telah mengumumkan sidang berikutnya atas kasus pembunuhan tersebut pada Senin (9/9/2024).

Meskipun undang-undang yang lebih ketat telah diberlakukan setelah pemerkosaan dan pembunuhan brutal terhadap mahasiswi di New Delhi pada 2012, para aktivis mengatakan bahwa kasus di Kolkata menunjukkan bagaimana perempuan masih terus mengalami kekerasan seksual.

3. Polisi Kolkata dituduh hancurkan barang bukti

Dilansir dari NDTV, orang tua korban menuduh polisi Kolkata berusaha menghancurkan barang bukti sejak awal kasus tersebut. Mereka mengatakan bahwa protes massal telah memberikan mereka harapan bahwa keadilan akan ditegakkan.

"Saya meminta semua orang untuk tetap bersama kami. Saya tahu keadilan tidak akan datang dengan mudah. ​​Kita harus menjamin keadilan. Saya berharap masyarakat akan bersama kami karena mereka adalah sumber utama kekuatan kami," kata ayah dokter yang terbunuh tersebut.

Ia sebelumnya juga menuduh polisi sengaja menunda pendaftaran laporan pengaduan. Ia mengatakan bahwa seorang polisi menawarkan uang kepadanya dan berusaha meyakinkan mereka untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Polisi juga dituding memaksa orang tua korban untuk melakukan kremasi, meskipun mereka ingin menyimpan jenazah putri mereka untuk autopsi kedua.

"Sekitar 300-400 polisi mengepung kami. Kami pulang dan menemukan sekitar 300 polisi berdiri di luar. Mereka menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga kami terpaksa mengkremasi jenazahnya," ujar sang ayah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorFatimah