Salah satu demonstrasi menuntut pembebasan Alexei Navalny di Yakutsk dengan suhu minus 50 Celsius. (Twitter.com/Kate de Pury)
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Rusia dibawah Vladimir Putin telah menggunakan rasa takut untuk menekan aksi protes masyarakat. Aksi protes yang akan dilakukan seakan tampak tidak ada gunanya ketika Putin berkuasa.
Namun pada hari Sabtu (23/1), gelombang protes yang tercatat sebagai salah satu demonstrasi terbesar di Rusia, telah membentang dari Moskow hingga Valdivostok, dan bahkan di Yakutsk, di mana demonstran menantang suhu dibawah minus 50 celsius.
Kondisi ketika protes merebak cukup beragam. Dari mulai bertukar lelucon, berteriak agar Putin turun dari jabatan, membuat story Instagram, berlari menghindari pengejaran polisi atau bahkan menantang balik dan bertukar pukulan dengan polisi yang membawa perlengkapan anti huru-hara.
The Guardian melaporkan aksi protes yang diwarnai bentrokan itu, membuat para demonstran berhadapan dengan pentungan petugas polisi yang berusaha untuk mengusir orang-orang dari alun-alun Pushkin.
Polisi kadang tampak kehilangan kendali dan memukuli demonstran. Beberapa demonstran terlihat kepalanya berlumuran darah sedangkan demonstran lain juga menyerang dan menendang kepala polisi yang memakai helm anti huru-hara.
“Saya sudah lama berhenti protes, semuanya tampak tidak berguna. Tapi sesuatu hari ini membuatku merasa harus datang, Navalny hanyalah tetes terakhir” kata Yulia Makhovskaya yang berusia 45 tahun. Dia hadir bersama dengan putranya, Nikolai, untuk ikut dalam barisan demonstran.
Sejauh ini tidak ada laporan adanya korban jiwa. Hanya banyak demonstran yang berdarah karena pukulan pentungan polisi. Komite investigasi nasional Rusia akan membuka penyelidikan atas kekerasan terhadap petugas polisi yang dilakukan oleh massa demonstran.