Ilustrasi bendera Rwanda. (Pixabay.com/Clker-Free-Vector-Images)
Inggris berpendapat, kebijakan itu akan mencegah geng penyelundup mengirim orang melakukan perjalanan berbahaya melalui Selat Inggris. Sepanjang tahun ini, lebih dari 44 ribu orang datang melalui selat dengan perahu kecil.
Lonjakan kedatangan menyebabkan pusat migrasi penuh sesak, yang menjadi episentrum penyakit, salah satunya adalah difteri.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan, kebijakan itu tidak bermoral dan tidak manusiawi karena mengirim orang ke negara yang tidak mereka inginkan. Mereka juga mengutip catatan hak asasi manusia Rwanda yang buruk, termasuk adanya dugaan penyiksaan dan pembunuhan.
Di Rwanda pada 1994 pernah terjadi genosisa terhadap sekitar 800 ribu orang, tapi Inggris berpendapat bahwa Rwanda kini telah membangun reputasi untuk stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun, kritikus mengatakan bahwa stabilitas itu datang dengan mengorbankan represi politik.
Christina Marriott, direktur kebijakan di Palang Merah Inggris, menganggap langkah yang diambil pemerintah tidak akan banyak membantu mencegah orang mempertaruhkan hidup mereka untuk melintasi Selat Inggris.
Pemerintah Inggris juga dikritik karena hanya memiliki sedikit rute resmi untuk pencari suaka, selain yang ditetapkan untuk orang-orang dari Ukraina, Afghanistan, dan Hong Kong.
Raja Charles dilaporkan juga mengecam kebijakan itu, yang dianggapnya mengerikan.