Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi obat-obatan. (unsplash.com/freestocks)
Ilustrasi obat-obatan. (unsplash.com/freestocks)

Jakarta, IDN Times - Penelitian baru mengungkap fakta bahwa seperlima atau 22 persen obat yang beredar di Afrika ternyata berkualitas rendah atau bahkan palsu. Temuan ini menjadi alarm bagi kesehatan masyarakat di kawasan tersebut.

Melansir dari The Guardian, studi yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Bahir Dar, Ethiopia, menganalisis 27 penelitian sebelumnya. Dari total 7.508 sampel obat yang diteliti, sebanyak 1.639 sampel gagal dalam setidaknya satu uji kualitas.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan mengingat dampaknya yang fatal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan obat-obatan palsu menyebabkan hingga 500 ribu kematian per tahun di Afrika sub-Sahara.

"Jika pasien mendapatkan obat yang berkualitas rendah atau benar-benar palsu, hal ini dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan atau bahkan kematian yang sebenarnya dapat dicegah," ungkap Claudia Martínez, kepala penelitian di Access to Medicine Foundation.

1. Obat malaria dan antibotik paling sering dipalsukan di Afrika

Menurut juru bicara WHO, antibiotik dan obat antimalaria adalah produk yang paling sering dipalsukan di Afrika. Hal ini sangat berbahaya mengingat kedua jenis obat tersebut sangat krusial dalam pengobatan penyakit-penyakit umum di benua tersebut.

Dampak dari obat palsu ini sungguh mengerikan. Melansir dari Nairametrics, sebuah model yang dikembangkan oleh Universitas Edinburgh memperkirakan bahwa antibiotik palsu menyebabkan 72 ribu hingga 169 ribu kematian anak per tahun akibat pneumonia.

Sementara itu, model lain dari London School of Hygiene and Tropical Medicine memperkirakan obat antimalaria palsu menyebabkan 116 ribu kematian tambahan per tahun di Afrika sub-Sahara. Studi ini juga menemukan bahwa Malawi memiliki proporsi obat-obatan berkualitas rendah dan palsu tertinggi. 

2. Penyebab maraknya obat palsu di Afrika

Kompleksitas rantai pasokan farmasi menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi pada masalah ini.

"Rantai pasokan farmasi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah seringkali kompleks, tidak efisien, dan terfragmentasi," jelas Martínez, dilansir dari WION.

Peran banyak perantara dalam distribusi produk juga memudahkan obat palsu memasuki rantai pasokan. Situasi ini diperparah dengan ketergantungan kawasan tersebut pada sejumlah kecil pemasok untuk obat-obatan esensial. Negara Afrika juga sulit melakukan pengadaan produk tepat waktu dan pengawasan terhadap kualitas produk di pasar.

WHO sebelumnya memperkirakan 1 dari 10 produk medis di negara berkembang berkualitas rendah atau palsu. Yang mengejutkan, 42 persen laporan obat berkualitas rendah dan palsu berasal dari Afrika. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan benua lain, menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi benua hitam dalam memerangi masalah ini.

3. Obat palsu marak di Nigeria

Nigeria, negara terpadat di Afrika, menjadi salah satu contoh nyata tantangan obat palsu di benua tersebut. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Nigeria (NAFDAC), prevalensi obat palsu dan berkualitas rendah di negara ini mencapai 16 persen. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 10 persen.

Salah satu faktor penyebabnya adalah ketergantungan Nigeria pada impor obat. Sekitar 70 persen obat di Nigeria diimpor, memberi peluang besar bagi masuknya obat palsu dan berkualitas rendah. Sebagai upaya penanganan, NAFDAC telah meluncurkan database berisi lebih dari 6.400 produk farmasi terdaftar untuk verifikasi publik.

Namun, tantangan ekonomi turut memperparah situasi. Inflasi tinggi dan devaluasi mata uang menyebabkan harga obat meningkat lebih dari 100 persen dalam setahun terakhir di Nigeria. Kenaikan harga ini berisiko mendorong masyarakat mencari alternatif lebih murah, meningkatkan risiko pembelian obat palsu.

Merespons situasi ini, Presiden Nigeria menandatangani Perintah Eksekutif menghapus tarif, bea, dan PPN untuk impor produk farmasi. Langkah ini diharapkan dapat mendorong produksi obat lokal dan menurunkan harga obat. Saat ini, industri farmasi lokal Nigeria diproyeksikan tumbuh dari 607 juta dolar AS (sekitar Rp9,7 triliun) menjadi 3,6 miliar dolar AS (sekitar Rp58 triliun) pada 2026.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorLeo Manik