Awalnya, para mahasiswa merasa puas dengan berhasil melengserkan sosok yang selama puluhan tahun dianggap sebagai satu-satunya yang membawa stabilitas. Namun, mereka memandang bahwa penggantinya, BJ Habibie, adalah kroni Soeharto sehingga dinilai tak pantas menjadi presiden.
Salah satu aktivis perempuan dari Forum Kota yang sangat vokal mengatakan kepada Tino bahwa Habibie adalah "Raja KKN" yang merupakan kepanjangan dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian, kamera Tino mengikuti perlawanan lanjutan mereka di bulan Oktober 1998.
"Yang mau tolak Habibie, tepuk tangan!" seru seorang orator kepada para mahasiswa yang melakukan aksi damai. Orator lainnya melantangkan Sumpah Mahasiswa yang diikuti oleh puluhan lainnya. "Sumpah mahasiswa! Kami, mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan."
Ia melanjutkan,"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbangsa satu, bangsa yang patuh kepada keadilan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan." Demonstrasi mereka yang terbilang semakin meningkat dalam satu bulan pun dihadapi aparat dengan persenjataan.
Dwifungsi ABRI mengizinkan militer untuk tak hanya mengamankan negara dari serangan eksternal, tapi juga mereka yang dianggap musuh di dalam negeri. Dalam hal ini adalah para demonstran. "ABRI tidak ubahnya seperti Nazi. Tidak ubahnya seperti fasis di Itali," teriak seorang mahasiswa yang direkam Tino.
Puluhan ribu anggota militer dan kepolisian diterjunkan untuk merespons para mahasiswa dari seluruh Indonesia yang tak bersenjata. Pada pertengahan Oktober, demonstran menolak Sidang Istimewa yang beragendakan penentuan pemilu selanjutnya. Suasana yang memanas semakin tak terhindarkan.