Abad Pelayaran yang mulai setelah tahun 1000 Masehi, membuat para pelaut Eropa tersohor keberaniannya dalam mengarungi samudera.
Teknologi navigasi laut dan konstruksi kapal yang semakin modern, dilengkapi dengan penemuan mesiu, menjadikan orang Eropa memburu rempah-rempah dan menyebarkan agama ke wilayah yang baru mereka ketahui.
Abad ini melahirkan apa yang namanya neraka kolonialisme dan imperialisme. Negara-negara Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Belanda melakukan penjajahan di banyak benua lain.
Jalur utama pelayaran saat itu adalah dari Eropa menuju Afrika Selatan (Tanjung Harapan) kemudian menuju Samudera Hindia untuk mencapai sumber rempah-rempah di Nusantara. Jalur lainnya adalah mengarungi Samudera Atlantik menuju benua Amerika.
Untuk rute yang melewati Tanjung Harapan, butuh waktu sekitar 7-8 bulan dari Eropa agar dapat mencapai pelabuhan-pelabuhan di Gujarat dan Goa di India. Waktu akan semakin bertambah lama jika kapal-kapal ingin mencapai Malaka, Jawa atau Maluku, gudang dan sumbernya rempah-rempah.
Karena itu, gagasan membangun Terusan Suez pada era kolonialisme ini adalah untuk mempercepat jalur pelayaran guna menopang ambisi ekspansi penjajahan.
Kapal-kapal Eropa jadi lebih cepat dengan tanpa memutari Afrika. Kapal tersebut berlayar dengan rute Laut Mediterania, Terusan Suez, Laut Merah, kemudian ke Samudera Hindia.
Sampai di Malaka, kapal-kapal Eropa bisa mengambil jalur ke pelabuhan-pelabuhan di Pantura Jawa dan menuju Maluku. Atau jalur lain menuju Hong Kong, China dan Jepang.
Pada akhirnya, meski pembangunan Terusan Suez modern ini sangat berguna dalam mempersingkat jalur pelayaran dan perdagangan, perkiraan Ummar bin Khattab tentang kemungkinan invasi asing ke dunia Islam menjadi fakta yang bisa dibenarkan.
Oleh Nicholas W. Stephenson Smith dari Foreign Policy, terbukanya akses langsung ke Laut Merah membuat kolonialisme membuat kekacauan dalam dua cara.
Pertama, para penguasa Eropa mewariskan kawasan tersebut jadi negara-negara yang sangat militeristik dan saling bersaing. Kedua, kolonialisme menabur benih perpecahan sipil. Dalam prosesnya, kolonialisme Eropa secara komprehensif menjungkirbalikkan budaya politik kawasan, serta hubungan internasionalnya.