Calon presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat Mike Bloomberg memberikan pidato saat kampanye dengan tema "Women for Mike" di kawasan Manhattan, Kota New York, New York, Amerika Serikat, pada 15 Januari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Eduardo Munoz
Trump pernah membeli izin iklan di YouTube pada 2019 lalu ketika Partai Demokrat sedang melangsungkan debat kandidat. Sebelumnya, pada 2012, tim sukses Barack Obama juga membeli area iklan yang sama untuk berkampanye. Namun, mengutip Techcrunch, situasinya berbeda saat ini.
Perusahaan teknologi mulai dari Facebook hingga Google disorot karena menerima uang berjumlah besar dari orang-orang dengan kepentingan politik. Padahal, perusahaan tersebut masih belum bisa menetapkan aturan tegas tentang iklan politik, terutama perihal kode etik.
Kekhawatiran bahwa raksasa teknologi acuh terhadap pengaruhnya dan hanya fokus pada keuntungan finansial muncul setelah skandal Cambridge Analytica di mana Facebook sangat berperan dalam menyebarkan propaganda tentang Trump dan Brexit.
Dalam Pilpres Amerika Serikat kali ini, salah satu kandidat Partai Demokrat juga melakukan praktik yang sama. Ironisnya, ia adalah Mike Bloomberg, pemilik Bloomberg itu sendiri. Taipan media tersebut menggelontorkan uang Rp456 miliar ke Facebook selama 30 hari untuk keperluan iklan politik.
Dilansir The Guardian, mantan Wali Kota New York itu juga menyalahgunakan posisi sebagai bos media untuk mengambil keuntungan. Pada November 2019, Pemimpin Redaksi Bloomberg mengirimkan memo kepada 2.700 wartawan yang bekerja di media itu agar tidak mempublikasikan konten investigasi apa pun soal si bos.
Padahal, Bloomberg setiap hari memberitakan soal kampanye Pilpres, termasuk terbaru adalah soal iklan Trump di halaman depan YouTube tersebut. Memo itu juga menegaskan wartawan Bloomberg dilarang melakukan penyelidikan mengenai para rival sang pemilik yang berasal dari Partai Demokrat.