Perayaan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat di Mount Rushmore, Keystone, Dakota Selatan, Amerika Serikat, pada 3 Juli 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Tom Brenner
Laman The Washington Post memuat kolom Fareed Zakaria yang menjelaskan mengapa Trump masih didukung kelompok minoritas termasuk Muslim. Dalam tulisan berjudul, “ Once again, Democrats have misunderstood minorities”, yang dimuat pada Kamis (5/11/2020), Fareed menjelaskan sebagai berikut.
“Polarisasi saat ini dalam, berdasarkan kesukuan, dan eksistensi –sebagian besar tidak terpengaruh oleh kejadian atau kinerja. Faktanya, seperti saat situasi memburuk dalam dunia olahraga, biasanya jadi ujian loyalitas untuk tetap bertahan dalam tim kamu,” demikian Fareed menggambarkan betapa situasi pandemik dan kelumpuhan ekonomi yang terparah sejak Depresi Besar, pendukung Republik dan Demokrat antusias menggunakan hak pilihnya, mendukung parpolnya.
Masalahnya, prediksi bahwa kali ini Demokrat bakal menang mudah menang di Pilpres, menguasai senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (house representative), ternyata meleset. Biden punya peluang besar untuk mengalahkan Trump sejauh ini. Tapi Demokrat gagal mencetak mayoritas di senat.
“Kekecewaan terbesar adalah, karena justru di tahun di mana Demokrat sangat mendukung ide soal kemajemukan dan gerakan seperti Black Lives Matter, Trump juga mendapatkan dukungan cukup besar suara dari kelompok minoritas dibandingkan calon presiden dari Partai Republik sebelumnya sejak 1960. Dia (Trump) menang persentase terbesar dari suara warga kulit hitam sejak 1996 (meskipun cuma dapat 12 persen, tapi ini terbesar). Dia juga dapat dukungan 35 persen suara muslim,” tulis Fareed.
Mengapa? Fareed mengamini analisa ahli strategi Demokrat, James Carville, yang menduga bahwa soal ekonomi adalah jawabannya. Banyak minoritas tidak menyalahkan sepenuhnya soal pandemik dan lumpuhnya ekonomi, kepada Trump.
Justru Demokrat dan Biden diasosiasikan dengan kebijakan penutupan ekonomi, sementara Trump sejak awal pro membuka kegiatan ekonomi sesegera mungkin meskipun jumlah kasus terus meroket, begitu pula pasien yang meninggal dunia.
“Tapi, interpretasi saya sendiri soal ini didapat dari apa yang saya rasakan tentang ideologi kemajemukan Demokrat. Mereka memperlakukan beragam kelompok etnis, ras, agama seolah jadi satu jenis ‘minoritas” dan menerapkan pendekatan yang belum tentu pas untuk semuanya,” ujar Fareed.
Sikap dominan Demokrat selama ini, kelompok minoritas menghadapi diskriminasi sistematis dan perlu dilindungi dengan tindakan aktif oleh pemerintah di berbagai bidang. “Ide ini akarnya dari pengalaman orang kulit hitam, dan itu perlakuan yang cocok. AS selama ini memperlakukan warga kulit hitam dengan kejam, menerapkan kebijakan yang merusak keluarga mereka, menganggap mereka kurang manusiawi dan sebagai warga negara kelas dua.” Ini terjadi sampai hari ini.
Menurut Fareed, ideologi yang didasarkan kepada pengalaman perlakuan terhadap minoritas kulit hitam, tidak bisa diterapkan ke kelompok imigran minoritas dan keturunannya.
“Bagi kami, perlakuan orang kulit putih Amerika bukanlah satu-satunya pengalaman yang membentuk sikap politik kami. Beberapa dari kami liberal secara sosial, yang lainnya konservatif. Beberapa melihat diri mereka sebagai wirausahawan, yang lainnya menuntut peran aktif pemerintah. Beberapa berusaha untuk asimilasi dengan menjauhkan diri dari imigran baru atau warga kulit hitam. Beberapa dari orang Amerika paling rasis yang saya kenal adalah ‘minoritas’,” tulis Fareed, yang dilahirkan di Mumbai, India.
Imigran lain, mayoritas datang ke AS secara sukarela, dan punya latar-belakang dan alasan yang berbeda-beda. “Kami juga mengalami pengalaman diskriminasi dan dijauhi, tapi kami juga mendapatkan negara yang secara keseluruhan lebih transparan dan terbuka terhadap orang asing, dibandingkan dengan tempat lain,” kata Fareed.
Trump unggul di kelompok pemilih etnis latin.