Para wanita yang berunjuk rasa pada 1 Juli 2021, menentang Turki keluar dari Konvensi Istanbul. (Twitter.com/Fulya Özerkan)
Dilansir Al Jazeera, penarikan Turki dari konvensi telah memicu kekhawatiran terhadap perlindungan perempuan. Kelompok We Will Stop Femicide, melaporkan setidaknya 300 kasus pembunuhan perempuan dan 171 kematian perempuan yang mencurigakan dicatat tahun lalu oleh kelompok pemantau. Kekerasan di dalam rumah tangga lazim terjadi di Turki.
Kelompok itu merupakan kelompok hak-hak perempuan terbesar di Turki ini mencatat kasus pembunuhan wanita, menyediakan media dengan pembaruan tentang kasus pengadilan yang sedang berlangsung dan menawarkan dukungan hukum kepada keluarga yang berduka atau wanita yang menderita kekerasan.
Kelompok itu mulai banyak dikenal setelah pembunuhan brutal tahun 2009 terhadap Munevver Karabulut, seorang siswa sekolah menengah yang dimutilasi dan potongan tubuhnya dibuang tempat sampah oleh kekasihnya. Kelompok itu telah menyampaikan bahwa kejahatan itu sebagai femisida, pembunuhan yang dilakukan laki-laki kepada wanita karena kebenciaannya, tapi kasus itu hanya dianggap sebagai pembunuhaan biasa.
Pelaku adalah keponakan seorang pengusaha kaya, dia tidak ditangkap sampai dia menyerahkan diri 197 hari kemudian. Menurut keterangan keluarga korban bahwa kepala polisi Istanbul, ketika itu menyalahkan mereka atas pembunuhannya, dengan mengatakan mereka seharusnya tidak mengizinkannya keluar dengan seorang pria di malam hari.
We Will Stop Femicides telah membantu keluarga Karabulut mencari keadilan, yang sejak saat itu berjuang dalam kesetaraan gender dan menyerukan kesadaran atas kejahatan femisida.
Dilansir Reuters, Canan Gullu, presiden Federasi Asosiasi Wanita, menyampaikan bahwa sejak Maret, perempuan dan kelompok rentan lainnya lebih enggan dalam meminta bantuan dan cenderung tidak menolak, dengan kesulitan ekonomi yang dipicu COVID-19 menyebabkan peningkatan dramatis dalam kekerasan terhadap mereka.