Ilustrasi palu pengadilan. (Unsplash.com/Tingey Injury Law Firm)
Dilansir Associated Press, terkait putusan tersebut dilaporkan tidak ada bukti spesifik yang dikutip pengadilan yang menghubungkan mereka yang dihukum dengan kekerasan atau Ikhwanul Muslimin. Para terdakwa dapat mengajukan banding atas putusan ke Mahkamah Agung.
“Hukuman yang sangat panjang ini mengolok-olok keadilan dan menjadi paku terakhir di peti mati bagi masyarakat sipil UEA yang baru lahir. UEA telah menyeret sejumlah pembela hak asasi manusia dan anggota masyarakat sipilnya yang paling berdedikasi melalui persidangan yang tidak adil dan penuh dengan pelanggaran proses hukum dan tuduhan penyiksaan," kata Joey Shea, seorang peneliti yang berfokus pada UEA untuk HRW.
Pusat Advokasi Tahanan Emirates, sebuah kelompok advokasi di pengasingan, secara terpisah melaporkan bahwa hukuman telah dijatuhkan.
"Sangat disayangkan, hukuman ini sepenuhnya dapat diduga. Sejak awal, jelas bahwa persidangan ini hanyalah kedok yang dirancang untuk melanggengkan penahanan tahanan hati nurani bahkan setelah hukuman mereka dijalani," kata direkturnya Mohamed al-Zaabi.
Amnesty International mengkritik hukuman ini, dengan mengatakan para terdakwa ditahan dalam kurungan isolasi yang lama, tidak boleh berhubungan dengan keluarga dan pengacara mereka, dan tidak diperbolehkan tidur karena terus-menerus mendengarkan musik keras. Organisasi itu juga menyampaikan bahwa terdakwa dilarang menerima dokumen pengadilan yang paling mendasar.
“Persidangan ini merupakan parodi keadilan yang tidak tahu malu dan melanggar berbagai prinsip dasar hukum, termasuk prinsip bahwa kamu tidak dapat mengadili orang yang sama dua kali untuk kejahatan yang sama, dan prinsip bahwa kamu tidak dapat menghukum orang secara retroaktif berdasarkan hukum yang tidak ada pada saat terjadinya pelanggaran yang dituduhkan,” kata Devin Kenney, seorang peneliti Amnesty International.