Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang pengendara motor, memakai masker pelindung untuk mencegah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19), berkendara melewati sebuah kelenteng saat ia mengirimkan bahan makanan di New Taipei, Taiwan, Jumat (22/4/2022). (ANTARA FOTO//REUTERS/Annabelle Chih)

Jakarta, IDN Times - Tidak hanya di China, Shanghai dan Korea Selatan kasis COVID-19 mengalami lonjakan. Situasi serupa juga terlihat di Taiwan. Bahkan, lonjakan kasus COVID-19 di Taiwan lebih tinggi dibandingkan ketika pandemik terjadi pada 2020 lalu. 

Harian South China Morning Post (SCMP), 1 Mei 2022 lalu melaporkan karena varian Omicron, jumlah kasus harian di Taiwan mencapai lebih dari 10 ribu. Bahkan pada April 2022, selama pada 28 dan 29 April, kasus harian menembus lebih dari 23 ribu. Dari angka tersebut, lebih dari 10 ribu kasus merupakan kasus lokal. 

"Selama 24 jam terakhir, ditemukan 11.974 kasus lokal, dua pasien yang meninggal dan 339 kasus impor," ungkap Menteri Kesehatan Taiwan, Chen Shih-chung ketika memberikan keterangan pers pada 30 April 2022 lalu. 

Ini merupakan angka yang tinggi mengingat Taiwan sempat dipuji atas kesuksesannya dalam menangani pandemik COVID-19 oleh dunia internasional. Ia pun mewanti-wanti bahwa tingkat penularan harian COVID-19 di Taiwan akan terus melonjak lantaran sifat varian Omicron yang cepat menular. 

Sejauh ini, 99,7 persen dari total 63.006 kasus lokal diketahui tanpa gejala atau tidak menunjukkan tingkat kesakitan yang parah. Pada periode ini, sembilan jiwa melayang. 

Menkes Chen memperkirakan kasus harian di Taiwan akan mencapai antara 40 ribu hingga 100 ribu. Lonjakan drastis ini merupakan konsekuensi dari keputusan otoritas kesehatan di Taiwan yang memilih mengakhiri kebijakan nol COVID-19. Selain itu, Menkes Chen juga menyebut bahwa Taiwan sedang dalam fase transisi. 

Selain itu menurut para ahli kesehatan di Taiwan tidak ada manfaatnya dengan tetap memberlakukan kebijakan nol COVID-19. Sebab, dengan sifat varian Omicron yang sangat mudah menular, bakal menyebabkan kenaikan kasus lokal hingga puluhan ribu. Hal itu yang terjadi di Singapura dan Hong Kong. 

Lalu, apakah Taiwan juga bakal memberlakukan kebijakan lockdown seperti yang diterapkan di Kota Shanghai?

1. Perdana Menteri Taiwan janjikan tidak akan ada lockdown

Perdana Menteri Taiwan, Su Tseng-Chang, saat menjalani vaksinasi. (Twitter.com/ambermywang)

Sementara, pada akhir April 2022 lalu, Perdana Menteri Taiwan, Su Tseng-chang mengatakan pihaknya sudah siap menghadapi pandemik. Mereka memastikan tidak akan memberlakukan karantina wilayah seperti yang diterapkan di Shanghai. 

"Kami akan secara bertahap mengatasinya (pandemik) dan tidak akan ada lockdown seperti di Shanghai," ungkap PM Su. 

Alih-alih memberlakukan lockdown atau karantina yang ketat, otoritas kesehatan di Taiwan memilih melonggarkan aturan karantina bagi penduduk lokal. Sehingga, bila mereka tiba dari luar negeri, mereka hanya perlu dikarantina selama tiga hari di rumah. Sisa empat hari merupakan periode pemantauan. Hal tersebut dapat dilakukan bila mereka dan kontaknya negatif dari COVID-19. 

"Sebanyak 99 persen kasus lokal menunjukkan tanpa gejala. Justru bila kita kirim pasien ke rumah sakit malah menambah beban tenaga medis," ungkap Menkes Chen. 

Di sisi lain, otoritas setempat akan menyiapkan kit swab antigen yang dapat dilakukan mandiri. Harganya pun bakal ditetapkan murah. Sementara, warga di Taiwan diwajibkan tetap memakai masker saat berada di tempat publik. 

Kemudian, bagi warga asing yang ingin masuk ke Taiwan maka mereka harus menjalani karantina selama 10 hari. Bila sudah selesai, maka mereka harus melalui periode pengawasan selama tujuh hari. Kebijakan itu tetap diterapkan oleh otoritas Taiwan untuk menjaga seandainya warga asing itu telah terekspos varian baru dari Sars-CoV-2.

2. Lockdown di Shanghai pengaruhi rantai pasok perusahaan di Taiwan

Editorial Team

Tonton lebih seru di