Pada akhir tahun 2021, Rusia memulai penumpukan pasukan dan material secara besar-besaran di sepanjang perbatasannya dengan Ukraina. Pasukan tambahan Rusia dikirim ke Belarus yang sepertinya akan melakukan latihan bersama dan armada angkatan laut Rusia yang cukup besar dikumpulkan di Laut Hitam.
Badan-badan intelijen Barat menyatakan bahwa langkah-langkah itu merupakan awal yang jelas untuk sebuah invasi, tetapi Putin membantah tuduhan akan niat tersebut.
Para pemimpin Barat melakukan negosiasi dengan Putin dan Zelenskyy dalam upaya untuk mencegah pertumpahan darah yang tampaknya tak terhindarkan, tetapi persiapan militer Rusia terus berlanjut.
Pada 21 Februari 2022, Putin mengumumkan bahwa ia akan mengakui kemerdekaan republik rakyat Donetsk dan Luhansk yang memproklamirkan diri dan mengirim “penjaga perdamaian” ke kedua wilayah. Para pemimpin Barat menanggapinya dengan memberlakukan babak baru sanksi.
Pada dini hari tanggal 24 Februari, Zelenskyy menyampaikan permohonan perdamaian di televisi secara langsung kepada rakyat Rusia. Tak lama kemudian, sekitar pukul 06:00 waktu Moskow, Putin mengumumkan dimulainya “operasi militer khusus” dan rudal jelajah Rusia mulai menghujani sasaran di Ukraina. Serangan yang tidak beralasan itu mengundang kecaman dari para pemimpin di seluruh dunia dan Zelenskyy mencoba menggalang dukungan dari komunitas internasional.
Pasukan Rusia dan kendaraan lapis baja mengalir dari Rusia ke Ukraina. Krimea yang diduduki Rusia dan Belarusia dipenuhi personel militer dan warga sipil yang tewas pada hari pertama pertempuran.
Ketika para pemimpin dunia mengumumkan sanksi yang semakin keras terhadap Rusia, Zelenskyy mencoba menggalang dukungan dari luar negeri, memperingatkan bahwa "Tirai Besi baru" sedang turun di Eropa.
Pada tanggal 25 Februari, Zelenskyy mengatakan bahwa meskipun Rusia mengklaim mereka hanya menargetkan situs militer, namun situs sipil juga diserang.
Dalam pidato pagi hari Jumat, Zelenskyy mengatakan bahwa dinas intelijennya telah mengidentifikasi dia sebagai target utama Rusia. Namun dia tinggal di Kyiv dan keluarganya akan tetap di negara itu. "Mereka ingin menghancurkan Ukraina secara politik dengan menghancurkan kepala negara" katanya.
Pada dini hari tanggal 26 Februari, selama serangan paling signifikan oleh pasukan Rusia di ibu kota Kyiv, pemerintah Amerika Serikat mendesak Zelenskyy untuk mengungsi ke lokasi yang lebih aman dan mengatakan siap membantunya dalam upaya semacam itu. Zelenskyy menolak tawaran itu dan memilih untuk tetap berada di Kiev dengan pasukan pertahanannya, dengan mengatakan bahwa "Pertarungan ada di sini (di Kiev), saya butuh amunisi, bukan tumpangan".
Zelenskyy memperoleh pengakuan dunia sebagai pemimpin masa perang Ukraina selama invasi Rusia. Sejarawan Andrew Roberts membandingkannya dengan Winston Churchill, dan membuat Zelenskyy telah digambarkan sebagai pahlawan nasional di Ukraina.
Zelenskyy berkontribusi pada popularitas baru dari penghormatan Slava Ukraini sebagai simbol perlawanan.