WANSUS: Dino Patti Djalal soal FPCI hingga Politik Luar Negeri Prabowo

Intinya sih...
- Dino Patti Djalal membangun FPCI untuk memasyarakatkan politik luar negeri dan hubungan internasional di Indonesia.
- FPCI menjadi ormas hubungan internasional terbesar di Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia Pasifik dalam 10 tahun.
Jakarta, IDN Times - Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal bercerita bagaimana dirinya membangun FPCI sejak 10 tahun lalu.
Selepas tidak menjabat Wakil Menteri Luar Negeri RI dan memutuskan pensiun dini sebagai diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Dino merasa politik luar negeri harus diketahui oleh akar rumput. Apalagi saat ini jurusan hubungan internasional banyak dibuka di sejumlah universitas di Indonesia.
Dino juga mengungkapkan harapannya terkait pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri RI Sugiono.
Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Dino Patti Djalal, akhir November 2024.
1. Bagaimana awalnya bapak membangun FPCI?
Kita waktu itu niatnya membangun suatu ormas akar rumput hubungan internasional yang benar-benar fokus di lahan yang belum terjamah, yaitu akar rumput itu atau civil society. Selama ini kan banyak think tank tapi berkutat di elit politik, tapi di kampus, di ruang publik ini belum paham seperti apa hubungan internasional dan politik luar negeri. Itu yang ingin kita fokuskan.
Selama 10 tahun ini, kita aktif menjemput bola, mengetuk pintu mereka, memperkenalkan diri, dan menawarkan kerja sama. Sikap konsisten dan intens ini dalam 10 tahun berhasil menjadikan FPCI ormas hubungan internasional terbesar di Indonesia, di Asia Tenggara bahkan di Asia Pasifik. Cukup pesat perkembangannya. Ini tanda orang-orang kita juga internasionalis. Mereka ingin belajar soal dunia dan mengambil keuntungan pengetahuan dari dunia internasional yang tentu juga jadi modal baik untuk pemerintah.
2. Setelah selesai jadi wamenlu, bapak baru mendirikan FPCI di 2014, tantangannya seperti apa?
Setelah saya turun jadi wamenlu karena ada pemerintahan baru, saya sudah mulai membentuk ini tapi secara teknis memang saat itu saya masih di Kemlu. Proses pensiun dini kan agak lama ya. Jadi awalnya pada 2015 membuat Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP). Tantangannya, saat itu gak ada orang, gak ada dana, gak ada kantor yang memadai. Kantor kita tuh di ruko di Tebet sana, dan saat itu memang susah bikin orang paham, “ini apa sih?” tapi kita percaya dengan misi ini dan memasyarakatkan politik luar negeri.
Tantangan yang ada sekarang jadi mudah diatasi dan harus diakui getting public attention ini susah. Itu waktu 2015 juga saya kaget, saat itu CIFP pesertanya membeludak. Jadi, itu saya merasa bersyukur bahwa kita melakukan sesuatu yang baik untuk Indonesia.
3. FPCI dibuat untuk membumikan polugri dan merata ke grass root. Apakah ada kritik dari pemerintah atau ada pihak yang menyebut FPCI tandingan pemerintah?
Ada, selalu ada. Dari awal itu kita sudah jelas, kita bukan cheerleaders pemerintah, tapi kita adalah independent stakeholder, pemangku kepentingan. Kredibilitas kita juga kita maunya berpikir secara kritis dan konstruktif. Kalau ada isu, itu kita berikan, masukan kita seperti apa, policy advocacy.
Ini kan kemerdekaan berpikir dan kebebasan untuk bertindak. Kadang-kadang kita berseberangan atau bergesekan dengan pemerintahan, nah ini pemerintah jangan marah. Kan kita negara demokrasi, pemimpin itu harus bisa dikritik. Kalau tidak mau dikritik jangan jadi menteri, dirjen, dubes.
Tapi kita perlu dukung pemerintah lewat kritik ini. Misalnya soal Palestina, tentu kita dukung pemerintah karena sudah baik sekali policy-nya. Tapi ketika ada yang merasa perlu diperbaiki, tentu kita sampaikan with no fear. Etos kita itu fearless di sini, memberikan masukan secara murni, jernih dan rasional tanpa takut, selama niatnya baik.
4. Di dalam FPCI ini kan ada chapter-chapter universitas di Indonesia, tujuannya apa?
Ambisinya adalah kita mau setiap kampus yang ada jurusan hubungan internasionalnya, ada chapter dari FPCI. Jadi ada komunitas dan konektivitas antara chapter-chapter ini. Yang kami berikan ini misalnya, kalau mau ke Jakarta, kita bantu atau mau ketemu dubes ini, embassy ini atau pihak pemerintah, kita bisa bantu. Segala macam hal kita bisa bantu.
Tapi intinya, saya ingin ada semacam komunitas pelajar-pelajar hubungan internasional terutama mereka bisa ada akses ke pembuat kebijakan. Yang paling sulit di Indonesia itu adalah antara akademisi dan pembuat kebijakan itu ada gap (jarak). Jadi banyak akademisi terlalu teoritis karena mereka tidak pernah di pemerintahan. Saya inginnya akademisi juga punya policy perspektif. Nah itu yang kita bantu.
5. FPCI dan Pak Dino bisa mengundang sejumlah pemimpin negara lain, datang hadir acara FPCI seperti Barack Obama, Presiden Ukraina via online? Lobinya seperti apa?
Kalau Obama itu saya langsung datang ke kantornya di Washington. Saya undang untuk datang ke Jakarta, memang banyak syaratnya, tapi akhirnya bisa ditanda tangan kontrak, dan beliau bisa datang. Itu jadi salah satu acara politik yang paling penting karena saat itu sedang banyak perdebatan soal politik identitas saat itu. Obama datang menyatakan itu seperti ini, “Ingat loh kalian punya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika”.
Kalau Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, ini kita coba terus. Intinya dengan gigih. Memang belum tentu dapat tapi kalau kita mencoba dengan gigih, pasti bisa. Saya kaget juga Zelenskyy bisa dapat dan mau press conference, walaupun via daring.
6. Ada tokoh atau pemimpin negara yang ingin diundang tapi belum tercapai?
Saya ingin undang eks Kanselir Jerman Angela Merkel, tapi belum tercapai. PM India Narendra Modi saya ingin sekali, Pangeran Saudi MBSuga ingin. Presiden Turki Erdogan, karena dia adalah pemimpin middle power dan berani. Jika ada kesempatan, pasti ingin sekali undang.
7. Sekarang Indonesia dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri yang baru juga, Bapak Sugiono. Seperti apa harapan Pak Dino untuk politik luar negeri Indonesia ke depan?
Banyak sekali harapan untuk pemerintahan Presiden Prabowo karena beliau sangat aktif di dunia internaskonal, tentu kami dukung, dan perhatian (ke Indonesia) sangat tinggi di dunia internasional. Indonesia harus bisa jadi pemain di kawasan dan global, kita berharap Pak Menlu (Sugiono) juga bisa mengimbangi, dalam satu bulan terakhir setelah dilantik kita belum mendengar dari Pak Menlu (Sugiono).
Pak Prabowo kan pesannya tiga, semua bangsa harus bersatu, Indonesia harus bisa mendunia, dan kita harus berani. Ada 18 kali dalam pidato beliau katakan ‘berani’. Berarti ini harus dilakukan di tingkat kementerian dan Pak Sugiono merangkul semua pihak lalu menjelaskan kepada dunia, apa yang kita mau dari politik luar negeri.
8. Politik luar negeri sangat penting saat ini karena pemerintah baru, menlu baru, wamenlu baru, banyak program yang jadi ambisi presiden, dan manajemennya seperti apa?
Di kantor presiden itu harus ada komite yang menangani hubungan luar negeri. Saat zaman Presiden SBY itu ada (komite hubungan luar negeri), dan saya yang ada di situ.
Masalah komunikasi, manajemen, itu bisa jadi risiko. Intinya apa? Ambisi polugri (politik luar negeri) Pak Presiden itu besar dan kita mendukung, manajemen itu perlu diperhatikan. Menlu Sugiono juga perlu komunikatif terhadap komunitas seperti kami ini. Polugri itu dimulai dari rumah sendiri. Bertemu konstituen di dalam negeri, itu lebih penting.