Setelah beberapa bulan di Raqqa, Nur dan keluarganya mulai merencanakan untuk melarikan diri. Nasib buruk kembali menghampiri ketika nenek dan pamannya meninggal saat terjadi serangan udara. Dengan membayar Rp 53 juta kepada penyelundup, ia dan keluarganya bisa meninggalkan Raqqa.
Kini Nur tinggal bersama ibu, dua saudara perempuan, tiga bibi, dua sepupu perempuan dan ketiga anak mereka. Sedangkan ayah dan empat sepupu laki-lakinya terpaksi tinggal di pusat detensi untuk diinterogasi oleh tentara Kurdi.
Di kamp tersebut Nur hanya bisa menyesali keputusannya dan mengingat betapa mudahnya ia dan keluarganya tertipu janji ISIS.
"Itu adalah sebuah tempat yang indah untuk tinggal dalam kedamaian dan keadilan dan, jika Tuhan mengizinkan, setelah hijrah, kami bisa ke surga. Aku ingin mengajak seluruh keluargaku... Kami berangkat agar bisa bersama selamanya, di dunia dan akhirat," kata Nur.
"Aku meninggalkan negaraku untuk alasan egois yang bodoh. Aku ingin fasilitas-fasilitas gratis," kata Nur. Ia pun mengakui bahwa ada anggota keluarganya yang mendapatkan operasi gratis.
Keponakannya juga mendapatkan perawatan karena menderita autisme. "Untunglah kami mendapatkan operasi gratis, tapi yang lainnya adalah kebohongan," ucapnya. "Aku sangat bersyukur. Aku sangat bodoh dan naif. Aku menyalahkan diriku sendiri. Ini bukan liburan ke Turki. Ini adalah perjalanan yang sangat berbahaya," tegasnya.