Kita Bersama Pasti Bisa Memberantas Korupsi di Indonesia Sampai Tuntas

Dengan mengambarkan bahwa korupsi itu seperti penyakit kanker, atau melekat pada sifat manusia, sebenarnya merupakan pengakuan bahwa korupsi itu tidak bisa diberantas. Jadi suatu hal normal yang sebaiknya diterima saja. Sikap defatisme yang seyogianya kita tolak jauh-jauh.
Saya ingin mengajak semua unsur masyarakat yang cinta tanah air, NKRI dan Pancasila, seluruh insan Indonesia, tua dan muda, memerangi dan menolak jauh sikap tersebut. Saya justru bersikap sebaliknya, mengatakan bahwa korupsi bisa kita habisi dan buang jauh dari bumi Indonesia agar tidak bisa timbul lagi. Mengapa tidak?
Saya percaya kepada kekuatan yang di AS dulu didengungkan oleh Martin Luther King Jr, pendeta dari Souther Methodist Church di Selma, Alabama, dalam perjuangan mereka menghapus diskriminasi dalam segala bentuk demonstrasi menyanyikan hymne “We shall
overcome, Lord, we shall overcome Lord, we shall overcome someday”. Tentu perjuangan
ini harus disadari tidak mudah, tetapi kalau kita mau berjuang, kita akan berakhir dengan
kemenangan, berkat kasih karunia Tuhan yang selalu merestui perjuangan yang suci.
Nah, perjuangan melawan dan menghilangkan korupsi juga serupa, berat, sangat berat,
tetapi kalau kita bertekad secara jujur dan memohon perkenan Tuhan, Dia Yang Maha Kuasa dan Maha Rahim akan mengabulkan permohonan kita yang suci tersebut. Tentu kita tidak boleh mendikte Tuhan, tetapi dengan sikap berserah diri kepada kemaharahiman-Nya. Kita akan berhasil, terserah kepada Tuhan dalam nenentukan kapannya, tetapi kita yakini saja bahwa perjuangan ini akan berhasil, ... someday, dalam hymne yang saya sitir di atas. Di sini kita juga harus meyakini, “Men propose, but God disposes”. Someday, karena Tuhan tidak pernah bohong, janji-Nya selalu dipenuhi, tetapi menurut waktu yang ditentukan Tuhan, bukan menurut apa yang kita mau.
Korupsi di Pertamina yang nampak demikian kompleks mungkin bisa dipahami secara
demikian, arti Tuhan yang akan menjelaskan pada kita menurut waktu yang ditentukan-Nya. Yang bisa kita pahami tindakan ini juga menyangkut penipuan kepada publik, produk B dinamakan A dengan harga yang lebih tinggi. Kita juga tahu hal ini mungkin menyebabkan mereka yang tertipu membeli produk yang di bawah standar tersebut bisa merusak kendaraannya. Mereka menipu publik untuk harga yang lebih tinggi dan penerimaan yang juga lebih tinggi, sehingga nilai yang dikorup juga meningkat.
Sebagaimana diumumkan kerugian negara karena korupsi Pertamina menyangkut dana sebesar Rp197 trilliun. Operasinya tampak rapi, tapi apapun perbuatan korupsi, jadi kriminal, dan biaya yang dipikul publik lebih besar lagi seandainya memang terjadi kerusakan mesin karena menggunakan bahan yang keliru ini. Suatu perbuatan korupsi yang kompleks, namun saya yakin bisa diurai sampai menjadi gamblang. Dan ini harus dikerjakan tanpa pandang siapa yang tersangkut di dalamnya. Prinsipnya semua orang harus mempertanggungjawabkan yang dilakukannya, besar atau kecil.
Nantinya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku harus benar-benar sesuai dengan
pelanggaran yang mereka lakukan. Yang penting sanksi ini harus benar dirasakan buat
mereka yang melanggar. Jadi selain menjalani hukuman penjara, semua harta yang dicuri
harus benar-benar dirampas dari yang melakukan dan nanti negara menentukan
peruntukan dana yang bisa dikumpulkan dari para koruptor tersebut. Dalam narasi Injil,
uang yang diterima murid Jesus dengan menyerahkan kepada penguasa, akhirnya
digunakan untuk membeli sebidang tanah yang disebut Hazeldama, tanah darah, yang tidak dimanfaatkan untuk apapun setelah itu. Buat kita tentu ada penggunaan lain yang
bermanfaat buat masyarakat, misalnya, membantu fakir miskin.
Rasanya juga masih perlu diyakinkan bagi para pelaku korupsi, apa yang disebut korupsi itu, saya masih mendengar seorang yang bahkan setelah selesai menjalani masa dipenjara, waktu ke luar mengatakan diirinya tidak melakukan korupsi. Dia bilang korupsi itu mencuri duit negara, misalnya dari APBN. Orang ini mengira dia belanja seenaknya sendiri termasuk buat keluarganya dan dibiayai pengusaha (gratifikasi), itu bukan korupsi. Padahal hal ini menyangkut pengusaha yang membayar mengharapkan diizinkan melakukan sesuatu atau dianggap tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum. “There is no such thing as a free lunch man”. Gratifikasi itu ya korupsi, sami mawon.
Ada juga pendapat yang keliru yang perlu saya betulkan di sini. Ini menyangkut saya sendiri. Dalam menghadapi krisis keuangan 1997, di mana saya, selaku gubernur BI dan direksi BI memutuskan untuk membantu bank-bank yang menderita penarikan deposito dan tabungan pada bank-bank tersebut secara besar-besaran dan bersamaan, sehingga mereka kuwalahan. Bank jelas tidak memegang semua dana yang terkumpul di dalam kasnya masing-masing, melainkan sudah dipinjamkan kepada nasabah yang membutuhkan. Di sini BI memberikan bantuan kepada bank-bank secara transparan berdasarkan laporan mereka, yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas BI (BLBI). Tanpa langkah ini banyak bank jelas akan gulung tikar.
Langkah ini tidak hanya dibenarkan tetapi justru harus dilakukan, karena BI sebagai bank sentral, atau banknya semua bank-bank, penyedia dana (benteng) terakhir atau Lender of Last Resort (LOLR). Di masa normal bank meminjam dari bank lain melalui inter-bank lending. Tetapi waktu krisis semua kurang dana enggak ada yang jual, semua mau beli, jadi yang bisa ya bandarnya, yang namanya Bank Indonesia. Dan ini terjadi karena keberanian pimpinan mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab. Tetapi
disinilah ujian seorang pemimpin, kalau takut bertanggung jawab ya jangan mau jadi
gubernur bank sentral, itu saja.
Saya dan teman-teman anggota direksi BI merasa lega wakyu badai mulai reda. Yang tidak kami sangka adalah setelah ini semua, di tahun 2003 saya sedang mengajar di NTU,
Singapura dipanggil pulang karena harus menghadap Jaksa Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus), dari Kejagung. Waktu itu belum ada KPK maupun Tipikor. Saya menjalani
pemeriksaan selama sekitar du minggu setiap hari jadi ya sekitar lima belas kali. Tetapi Puji Tuhan, Jampidsus mengatakan tidak menemukan bukti saya melakukan tindak pidana korupsi. Karena itu dikeluarkan surat perintah pemberhentian penyelidikan kejahatan (SP3K), dan saya boleh kembali ke Singapura untuk menjalankan pekerjaan sebagai Guru Besar di NTU sampai akhirnya genap 20 tahun.
Saya masih perlu menekankan di sini bahwa sementara pihak, seperti sejumlah ahli hukumtetap mengatakan bahwa pengeluaran untuk BLBI itu kerugian negara, karena itu yang memutuskan pemberian BLBI telah melakukan tindak pidana korupsi. Tetapi maaf,
pendapat ini keliru, BI sebagai LOLR justru berkewajiban membantu bank-bank yang
bermasalah, ini bukan kerugian, melainkan biaya yang harus dibayar untuk mengembalikan kestabilan keuangan-perbankan.
Jadi jelas bukan tindakan korupsi. Buat yang masih tidak percaya silakan dipelajari segala aturan yang ada, itu bukan tindakan korupsi dan keputusan gubernur BI itu bukan tindakan korupsi, melainkan tindakan penyelamatan perbankan, yang justru harus diberikan penghargaan dan terima kasih, bukannya dihukum. Sampai saya diberhentikan oleh Presiden dua bulan sebelum masa jabatan berakhir, masih banyak yang berpikir yang saya lakukan itu korupsi jadi saya harus dihukum.
Bahkan Ketua BPK waktu itu tetap mengatakan gubernur BI harus dimintai pertanggungjawabannya tentang BLBI yang mencapai jumlah sekitar Rp90 trilliun sampai saya diberhentikan. Namun karena (BLBI) diteruskan pengganti saya, akhirnya jumlah sampai Januari 1999 adalah Rp147 triliun. Besar amat ya, betul sekali, tetapi itu bukan kerugian bung, itu biaya yang harus dibayar untuk memperoleh kestabilan perbankan, dan adalah tugas BI sebagai LOLR untuk membayarnya lebih dulu.
Buat orang yang tidak mengerti berbisnis ya ini kerugian, soalnya bisnis mereka yang tidak bayar apapun dibiayai dengan memaksa, mencuri atau menipu. Buat saya semua ini saya terima sebagai pengalaman hidup, dan banyak mahasiswa mahasiswi di seluruh universitas yang justru melihat saya sebagai pahlawan mereka waktu itu. Ya begitulah dinamika kehidupan.
Saya mengatakan seperti di atas karena kemudian di tahun 2008, pada waktu
berkecamuknya krisis keuangan dunia (global financial crisis), yang dimulai di Amerika
Serikat dengan bankrutnya mega bank, JP Morgan, bulan September 2008, melalui dampak penularan menjalar ke seluruh dunia. Indonesia juga terkena, tetapi ada orang sok tahu yang melukiskan bankrutnya Bank Century itu bukti adanya systemic risk, itu ya tidak benar.
Di Indonesia bank-bank sudah belajar dari pahitnya krisis keuangan Asia, meskipun BI
sudah mengucurkan BLBI masih harus menutup 16 bank-bank, setelah itu mereka menjadi
kuat dan di tahun 2008 bisa bertahan. Tetapi Bank Century yang tetap jebol, tapi ya bukan
systemic risk dong, kejadian 1997 itu systemic risk, tetapi 2008 di Indonesia bukan. Yah
memang tidak nyaman dipecat, meskipun hanya dua bulan sebelum masa jabatan berakhir, tapi implikasinya besar, enggak ada orang atau banker mau berteman sama orang yang dipecat Presiden, dan bisa saya mengerti.
Bagaimanapun juga, Kembali ke topik bahasan kita, saya mengenal secara dekat Presiden Prabowo, resminya sejak 54 tahun lalu waktu menjadi kakak ipar beliau, tetapi kalau
dihitung dengan waktu sebelumnya ya kali 60 tahunan. Dalam keyakinan saya Presiden
Prabowo sangat percaya bahwa beliau dengan bantuan para menteri dan wamen yang
telah diangkat menjadi anggota Kabinet Merah Putih, secara bersama kitab Isa, menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia yang kita cintai ini. Karena kita semua tidak mau bumi pertiwi ini dinodai oleh ulah para korptor. Dan sebagai slogan yang saya kutip di atas, “When we fight, we win, with the Lord blessing and someday becomes reality. Just you wait". Terompet perang sudah dibunyikan, para koruptor kita kejar sampai dimana pun dan kapan pun sampai kita bekuk. (Dradjad, 15/03/2025)
Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEBUI), Jakarta.