Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menulis masalah korupsi yang kita sebagai bangsa Indonesia hadapi bersama, kerapkali sepertinya terjadi di depan kita sendiri. Hal ini terjadi setelah yang terakhir Wamen Tenaga Kerja (eks) Immanuel Ebenezer Gerungan yang juga dikenal dengan nama Noel, belum lama berselang tertangkap tangan oleh penegak hukum KPK.
Yang bersangkutan kemudian dipanggil untuk diperiksa bersama rekan-rekannya sejumlah 9 orang, termasuk dua perempuan. Pada waktu digiring ke KPK, Noel tampak ceria, mengacungkan dua jempol berkali-kali meskipun yang lain menunduk malu. Dua hari kemudian, tanpa rasa malu di depan publik, Noel sambil menangis memohon Bapak Presiden untuk memberikan amnesti kepadanya. Demikian gampang Pak Wamen ini memohon amnesti meskipun sudah begitu sering Presiden Prabowo menjelaskan bahwa pemberantasan korupsi adalah salah satu program prioritas pemerintah.
Dan beliau tentu juga tahu bahwa kasusnya berbeda dengan kasus sebelumnya yang menyangkut mantan Mendag Tom lembong yang memperoleh abolisi dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menerima amnesti. Tentu kita heran dengan jalan pemikiran Noel. Dalam pemberitaan disebutkan bahwa praktik yang dilakukan Noel dan teman-temannya meminta para pengusaha yang memerlukan izin usaha ketenagakerjaan membayar jauh lebih tinggi dari ketentuan, di mana sisa dana yang resmi disetor ke kas negara dimasukkan ke kantong sendiri. Yang lebih mengherankan lagi Noel pernah menyatakan ke publik bahwa dia mendukung koruptor dihukum mati seperti di China. Tetapi untuk dirinya dia mohon amnesti. Maaf Noel, jalan pikiran Anda tidak laku, proses hukum akan dilanjutkan sampai akhir.
Presiden Prabowo dalam salah satu pidatonya menyebutkan fenomena ini sebagai ’serakah-nomik’. Suatu istilah bagus dan tepat yang sebenarnya juga tidak baru. Di awal tahun delapan puluhan di kalangan pedagang valas dan saham di Wall Street juga dikenal istilah “greed is good” untuk justifikasi perbuatan para pialang yang main tipu mengumpulkan kekayaan secara rakus, greedy. Pelaku yang terkenal saat itu adalah Ivan Boesky dan Michael Milken yang memiliki julukan junk bond king. Dan Hollywood tidak mau kalah memproduksi suatu film dengan peran utama menggambarkan seorang dealer yang sangat pintar dan licik, Gordon Gekko, dimainkan sangat bagus oleh Michael Douglas, 1987.
Michael Douglas adalah putra bintang film legendaris dalam film-film western-cowboy, Kirk Douglas, dan epik sejarah seperti Spartacus. Ya, mungkin orang Indonesia hanya belajar perilaku buruk ini kemudian, tapi tentu lebih bagus lagi kalau sama sekali tidak menirunya secara sadar. Maaf Noel. Mungkin kita perlu berpikir positif, mensyukuri. Dan puji Tuhan sudah tertangkap. Demikian pula para pelaku korupsi di perusahaan negara, Pertamina, yang menyangkut jaringan rumit dan banyak orang terlibat. Semoga kita semua tetap mendukung upaya pemerintah untuk memberantas korupsi sampai habis bersih dengan memegang teguh hukum yang sudah bagus, tetapi kadang tidak dilaksanakan secara disiplin, dan karena itu masih harus diupayakan untuk terus ditegakkan.
Saya ingin menceritakan pengalaman saya pribadi yang menggambarkan kurang baiknya disiplin penegakan hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan. Saya menceritakan agar tidak dilupakan, karena masih saya rasakan tidak melindungi hak asasi saya sebagai warga negara dan mantan pejabat tinggi negara.
Demikian kisahnya. Pada waktu berkecamuknya krisis keuangan Asia, dimulai dengan serangan terhadap Thai Baht di bulan April 1997, tekanan terhadap mata uang nasional tersebut merembet cepat ke kawasan kita dan rupiah juga terserang berat. Saya yang menjabat Gubernur Bank Indonesia waktu itu bersama para Direktur (Deputi Gubernur di era sekarang) memutuskan untuk membantu bank-bank nasional yang terkena tekanan berat, bank rush, dan kekurangan likuiditas menghadapi penarikan dana tabungan dan deposito yang dimiliki publik karena kepanikan masyarakat. BI hanya memberi bantuan buat bank-bank yang sehat dalam arti memenuhi ketentuan permodalan menurut ketentuan yang disebut sebagai Capital Adequacy Ratio atau CAR, artinya rasio kecukupan modal sebesar 8 persen dari seluruh nilai aset/kredit bank kepada pihak ketiga.
Dana bantuan ini dikenal sebagai BLBI (Bantuan Likuiditas BI). Dan dari bulan April 1997 sampai saya diberhentikan sebagai gubernur atau dalam bahasa terangnya dipecat pada 11 Februari 1998, dana yang digelontorkan ke bank-bank meliputi Rp90 triliun, jumlah yang sangat besar.
Meskipun begitu banyak dana telah dikeluarkan untuk menyelamatkan bank-bank, perbankan masih tidak juga stabil, dan pada bulan Oktober 1997 saya dan direksi BI memutuskan menutup atau melikuidasi 16 bank. Mujur tak dapat diraih, musibah tak bisa ditolak, nasib buruk menimpa saya karena di antara keenambelas bank tersebut tiga dimiliki keluarga Presiden, yaitu Bank Jakarta milik adik Presiden, almarhum Pak Probosutedjo, Bank Andromeda, milik Bambang Trihatmodjo, dan Bank Industri milik Titiek Prabowo.
Dan karena hal tersebut saya diberhentikan sebagai gubernur BI enam minggu sebelum masa jabatan berakhir, tanggal 11 Februari 1998. Bapak Presiden tidak menyebutkan mengapa saya diberhentikan dan saya tidak memprotes karena waktu itu BI belum berstatus independen, dan gubernur bisa diberhentikan Presiden setiap saat apapun alasannya. Saya tidak mendebat karena itu mameng hak beliau dan ternyata semua keputusan saya tidak ada yang diubah, artinya beliau setuju pada keputusan saya.
Di tahun 2003, waktu saya bekerja sebagai guru besar di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSIS, NTU), Singapore, saya dipanggil Kejagung pulang untuk diperiksa mengenai penyaluran BLBI bersama dua orang anggota direksi lain, Pak Hendro Budianto dan Paul Sutopo.
Seingat saya pemeriksaan berjalan sekitar 16 kali, dengan setiap pemeriksaan rata-rata 10 jam. Pertanyaan selalu sekitar tuduhan bahwa dana yang disalurkan kepada bank-bank sampai Rp90 triliun itu kerugian negara. Sedangkan saya bertahan mengatakan itu adalah biaya yang harus kita tanggung agar tidak semua bank-bank harus dilikuidasikan. Jadi ya tidak pernah ketemu argumen jaksa dengan argumen ekonom. Tetapi saya tidak pernah mau mengalah karena merasa benar, melakukan apa yang menjadi tanggung jawab saya sebagai gubernur bank sentral yang juga lender of last resort (LOLR), itulah salah satu tugas bank sentral. Akhirnya buat saya Jampidsus mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dan saya dibebaskan dari segala tuntutan. Saya kembali ke Singapore untuk melanjutkan kerja saya di NTU.
Tetapi itu rupanya bukan akhir dari masalah hukum yang saya hadapi dan yang kemudian ini saya merasa digiring untuk dijadikan tersangka dan dihukum penjara, waktu itu sudah ada lembaga baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan ketuanya Antasari. Di sini terjadi ketidaksinkronan pelaksanaan peraturan yang menjadi sumber ketidakadilan buat diri saya. Saya uraikan di bawah apa arti dan konsekuensinya. Ini adalah pandangan pribadi, tetapi yang akan saya pertanggungjawabkan selalu kepada siapa pun.
Pada tahun 2008 saya kembali dipanggil pulang ke Jakarta. Kali ini oleh KPK dengan alasan waktu 2003 saya menghadapi masalah penyaluran BLBI, saya dibantu BI dalam segala biaya saya menangani kasus hukum tersebut, untuk sejumlah ahli hukum dan saya tidak mengerti, hanya diberitahu bahwa semua pengeluaran berjumlah Rp25 miliar. KPK sedang menangani kasus Gubernur Burhanuddin Abdullah dan beberapa deputi gubernur, dan saya,karena telah menerima fasilitas pembiayaan di tahun 2003 tersebut dipanggil untuk menjadi saksi. Sampai di Jakarta paspor ditahan, jadi kena pencekalan, tidak boleh kembali mengajar di Singapore, yang akhirnya memakan waktu 22 bulan.
Saya menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK, mungkin sampai dua puluh kali, rata-rata 10 jam. Pertanyaan ya itu-itu saja, diminta mengaku saja, apa yang harus saya akui tidak jelas. Saya merasa ingin dijebloskan agar jadi tersangka yang dilancarkan Ketua KPK Antasari. Mengapa saya mengatakan demikian; berkali-kali waktu jam 10 atau setengah sebelas malam masih dilangsungkan pemeriksaan Antasari tiba-tiba membuka pintu dan menanyakan, gimana, belum selesai? Sudah ditahan dulu saja. Ini terjadi berkali-kali. Suatu saat dia bilang pada saya, "Pak, itu mantan jenderal polisi yang jadi dubes di Kuala Lumpur, saya lupa namanya, sudah tua tetapi di penjara juga lho". Kayaknya menyiratkan meski sudah tua saya juga bisa dipenjarakan meski mantan menteri dan gubernur BI.
Dan tidak hanya itu, yang lebih sadis lagi, rumah saya, meskipun status saya sebagai saksi digeledah oleh 16 petugas KPK. Suatu pagi saya ke KPK waktu masuk kamar pemeriksaan diberitahu, pak kami mau memeriksa kediaman bapak. Jadi saya pulang dengan mobil KPK. Untungnya di rumah isteri dan kedua anak saya tidak ada, mereka di AS, kedua anak saya sedang sekolah. Mungkin saya satu-satunya saksi yang rumahnya digeledah, meskipun tidak tahu persis masalahnya.
Di rumah saya diminta duduk di sofa didampingi satu penyidik KPK bergantian satu dengan yang lain. Saya seenaknya ngomong kepada mereka, seperti bilang ‘bapak-bapak semua mengira sebagai mantan gubernur BI tentu rumah saya seperti istana ya maka datang berenambelas. Padahal rumah saya ya cuma ada 4 kamar, satu kamar tidur kami berdua, dan saya ada dua anak , masing-masing punya satu kamar dan satu kamar lagi ruang kerja saya. Jadi bayangkan 16 orang memeriksa rumah dengan empat kamar yang semua kosong kecuali kamar kerja yang isinya desktop dan buku-buku. Kali untuk bukti mereka mengambil hard-disk dari desktop saya yang isinya tulisan-tulisan saya serta manuskrip buku-buku saya. Saya telah menerbitkan sepuluh buah buku sebagai penulis tunggal.
Yang aneh adalah setiap kali mereka bilang sudahlah pak, ngaku saja dan saya tanya saya suruh ngaku apa, pak, saya tidak melakukan apapun yang salah kok. Lalu kebanyakan menjawab, ya maaf kami kan hanya menjalankan tugas. Pokoknya sangat konyol deh, tetapi karena saya tidak merasa salah ya saya tidak bisa ditekan malah berani meledek, wong kepada Presiden saja saya tidak grogi kok, dan beliau sebenarnya menyetujui semua keputusan saya buktinya tidak ada yang diubah, 16 bank saya tutup ya tetap tutup meski saya diberhentikan atau dipecat.
Itulah pengalaman saya diperlakukan tidak adil oleh penegak hukum, KPK, dilanggar hak asasinya yang terpaksa saya terima, meskipun setelah itu teman-teman saya yang ahli hukum menganjurkan saya menuntut balik. Tetapi saya tidak mau, sebagai orang Jawa yang ingat petuah almarhum orang tua, wong wani ngalah iku duwur wekasane, orang yang berani mengalah itu akhirnya akan ditinggikan.
Nah, terakhir yang bikin sakit hati saya adalah demikian. Pengadilan TIPIKOR dalam sidangnya yang telah memanggil saya atas dasar saya menerima bantuan dana pembiayaan waktu menghadapi kasus BLBI, membuat keputusan yang bertentangan dengan hal yang menjadi dasar memanggil saya menjadi saksi. Yaitu hakim memutuskan bahwa buat saya dan kedua rekan direksi dana yang saya terima dulu, Rp25 miliar itu adalah utang yang harus saya bayar kembali ke BI.
Pikiran kacau yang saya harus terima saja. Saya hanya beragumen bahwa sebagai orang yang incomenya diterima bulanan, saya harus punya hak untuk mengangsur sesuai kemampuan. Ini kami lakukan setiap melakukan restrukturisasi pinjaman antara bank dan nasabah. Maka dengan menggunakan suku bunga yang berlaku dan berapa kali mengangsur saya menghitung nilai kini (present value) dari Rp25 miliar itu adalah Rp7 miliar, dan buat kedua rekan saya masing-masing Rp5 miliar.
Nah saya harus bayar Rp7 miliar atau masuk kurungan 7 bulan. Tangan Tuhan menentukan, karena mantan gubernur yang selaku guru besar ini pensiunnya hanya Rp5 juta setiap bulan, untungnya punya saudara yang pengusaha cukup kaya untuk membayar Rp7 miliar. Jadi saya terbebas dari hukuman kurungan karena adik ipar saya Hashim Djojohadikusumo yang baik hati membayar cash buat saya. Begitu cerita tragis yang menimpa diri saya. Tapi biarlah, pejabat lain ada yang enak saja nyolong duit negara atau menerima gratifikasi dari pengusaha, saya sebaliknya bisa bilang saya menghadiahkan dana Rp7 milia kepada BI yang tentu saja enggak ada artinya. Tapi ini bukan hoaks karena cerita beneran. Sekian saja. (Dradjad, 07/09/2025).
Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEBUI), Jakarta.