Afirmasi pemuda punya tantangan keraguan kualitas. Ini sama halnya dengan afirmasi perempuan yang dinilai aneh karena keraguan kualitas perempuan. Tertangkapnya anggota dewan seperti M Nazaruddin (kelahiran 1978), Angelina Sondakh (1977), Anas Urbaningrum (1969), dan Andi Mallarangeng (1963), disimpulkan dengan penilaian buruk kaum muda di parlemen.
Padahal, kesimpulan tersebut bisa diklarifikasi. Keempat orang anggota Partai Demokrat itu sudah melampaui rentang usia 16-30 tahun. Nazaruddin, Angie, Anas, dan Andi, saat terpilih di dewan, saat melakukan tindakan korup, dan saat tertangkap, keempatnya sudah tak muda lagi.
Klarifikasi kualitas pemuda pun bisa berupa pertanyaan balik. Jika pemuda dituntut berkualitas, kenapa tak ada tuntutan kualitas terhadap anggota dewan berusia tua yang justru mendominasi parlemen? Barometer Korupsi Global 2013 Transparency International yang menempatkan partai politik dan parlemen sebagai lembaga terkorup merupakan gambaran kelembagaan negara yang dikuasai kaum tua.
Beberapa tahun setelah Reformasi, wacana dukung dan pilih pemimpin muda beralasan karena kaum muda bebas dari keterkaitan pemerintahan korup Orde Baru. Orang tua berkuasa merupakan pelaku atau terlibat dalam rezim 30-an tahun yang otoriter (monopoli) tanpa transparansi dan akuntabiltas publik. Pemaknaan orang tua=koruptor merupakan kesimpulan dari Soeharto yang oleh Transparency International dinilai sebagai Presiden Terkorup di Dunia (2004).
Maka tak heran, ketika kita sudah melakukan empat kali pemilu nasional pasca-Reformasi, Indonesia masih dihadapkan pada pemerintahan korup. Orang-orang yang terpilih memimpin masih ada yang merupakan bagian kuasa Orde Baru. Hal ini membuat kita teringat, pernyataan Gerakan Kiri, yaitu Revolusi sampai mati! Potong satu generasi (tua)!
*Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
[Tulisan di atas merupakan pendapat/opini penulis dan IDN Times tidak bertanggung jawab atas keseluruhan isi tulisan yang bersangkutan]