Tulisan ini bersifat opini, menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya, dan tidak mewakili IDN Times.
Di tengah hiruk-pikuk upaya membangun citra dan mengonsolidasi reputasi pasca reformasi, terdapat satu simpul komunikasi yang justru menguji kredibilitas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara paling mendasar, yaitu: Layanan Polisi 110.
Nomor darurat ini bukan sekadar saluran telepon, ia adalah telinga publik yang dimiliki oleh Polri dan ujian nyata atas komitmen institusi untuk tidak hanya menyampaikan pesan kantibmas, tetapi lebih krusial lagi, untuk mendengarkan dan bertindak berdasarkan suara rakyat sipil. Proses dari panggilan masuk hingga respons di lapangan adalah perwujudan konkret dari sebuah teori komunikasi yang sering diabaikan dalam birokrasi. Bahwa komunikasi yang efektif adalah siklus organik antara voice (suara) dan meaningful listening (mendengarkan dengan penuh perhatian dan sepenuh hati), bukan sekadar transmisi instruksi satu arah.
Pertanyaan kritisnya adalah, dalam arus deras narasi pencitraan dan upaya reformasi struktural, apakah Layanan Polisi 110 masih memegang teguh fungsi utamanya sebagai penghubung yang responsif antara keprihatinan masyarakat dan aksi nyata penegak hukum? Ataukah ia berisiko tenggelam menjadi simbol belaka, sebuah nomor di pinggir jalan yang lebih banyak didengungkan dalam kampanye daripada diuji dalam respons krisis sehari-hari?
Kepercayaan publik tidak dibangun semata pada janji reformasi atau kampanye media, tetapi pada pengalaman nyata masyarakat saat suara mereka, melalui dering telepon 110, benar-benar didengar dan diubah menjadi aksi nyata dan penyelamatan.
