[OPINI] Belajar Bersyukur dari Sophie 'Howl's Moving Castle'

"Keuntungan menjadi tua adalah kau tak khawatir kehilangan apa pun." — Sophie
[Disclaimer: Artikel ini panjang dan mengandung spoiler. Jadi, siapkan diri untuk membacanya]
Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Sekalipun seseorang tampak memiliki segudang kelebihan, terselip kekurangan di balik keunggulan-keunggulan tersebut.
Penulis yakin, kita semua sadar betul akan fakta tersebut. Namun, gak jarang kita terlena dan merasa cemburu dengan orang lain. Kalau dalam istilah zaman sekarang, kita jadi merasa insecure.
Rumput tetangga memang selalu terlihat hijau. Namun, kalau dipikir-pikir, kenapa kita cenderung membandingkan diri dengan orang lain yang lebih baik ketimbang kita? Padahal, ada banyak orang yang bernasib kurang beruntung.
Bagaimana jadinya kalau kehidupan kita tiba-tiba berubah? Dikutuk menjadi tua misalnya? Kondisi itulah yang dialami oleh Sophie, karakter utama dalam film anime Howl's Moving Castle.
Buat yang belum tahu, Howl's Moving Castle ini merupakan anime keluaran Studio Ghibli yang rilis tahun 2004 silam. Jadi, memang sudah cukup lama. Disutradarai oleh Hayao Miyazaki, singkatnya, film ini mengisahkan pertemuan antara Sophie dan Howl.
Jadi, Sophie merupakan seorang perajin topi. Kesehariannya hanya berkutat dengan hal tersebut hingga suatu saat, ketika hendak menemui adiknya, Lettie, ia bertemu dengan seorang penyihir, yaitu Howl.
Awal jumpa keduanya tampak menyenangkan. Howl 'menyelamatkan' Sophie dari dua orang prajurit genit, kemudian mereka terbang ke udara untuk menghindari kaki-tangan Penyihir Gurun.
Namun, Sophie tidak tahu bahwa setelah perjumpaan itu, dia harus mengalami kejadian nahas. Penyihir Gurun mendatangi toko topi Sophie, kemudian mengutuknya menjadi nenek ringkih nan tua.
Sudahlah 'jelek', malah dikutuk menjadi nenek tua
Meskipun gak secara eksplisit diungkapkan, penulis bisa menangkap kalau Sophie memiliki inferiority complex—perasaan di mana kita merasa lebih rendah daripada orang lain—terkait penampilannya. Gadis tersebut merasa bahwa dirinya tidak cantik.
"Jika penyihir itu adalah Howl, maka dia akan mengincar hatimu, Kak," ucap Lettie.
"Jangan cemas. Howl hanya mengincar gadis cantik," balas Sophie.
Kalau kita bandingkan dengan Lettie sendiri, mungkin Sophie benar. Baju pastel hijau dan rambut cokelatnya tidak sebanding dengan rambut pirang dan paras Lettie yang memesona. Meskipun begitu, Sophie gak seburuk yang ia pikirkan.
Perasaan minder tersebut mungkin merupakan salah satu masalah terbesar dalam hidup Sophie yang harus segera ia hilangkan. Akan tetapi, ujian yang lebih berat malah menghadang di mana ia harus terkena kutukan dari Penyihir Gurun yang cemburu karena Sophie bisa berjalan dengan Howl.
Gak tanggung-tanggung, kutukan yang Penyihir Gurun jatuhkan tersebut adalah kutukan yang langsung menyerang titik terlemah dari diri Sophie, yaitu penampilannya. Saat Sophie sering insecure karena merasa tidak cantik, ia malah harus berubah menjadi nenek tua yang keriput dan jelek.
Namun, alih-alih langsung menangis tersedu-sedu, Sophie masih bisa berpikir positif dan bahkan bersyukur setelah kejadian nahas tersebut menimpanya.