Kita memang hidup di era demokrasi, yaitu era di mana kita memiliki kebebasan untuk berpendapat tentunya selama kebebasan itu masih berada pada jalur yang tepat dan dengan tujuan yang baik. Tetapi, kini kebebasan berdemokrasi seringkali digunakan sebebas-bebasnya nyaris tanpa aturan, bahkan apa yang menjadi tujuannya pun tampak kabur. Sebagai masyarakat, melalui pemilihan umum kita memilih “pelayan” bukan pemimpin. Disebut “pelayan” di sini karena memang sesuai tugas pokok dan fungsinya, mereka yang terpilih berdasarkan pemilu wajib untuk melayani rakyat, mendengarkan aspirasi rakyat, tuntutan rakyat, dan menjadi tameng pertama atas tuntutan-tuntutan rakyat.
“Pelayan” yang baik adalah ia yang rela berkorban demi rakyat yang dilayaninya. Mulai dari berkorban waktu, tenaga, dan pemikirannya. “Pelayan” yang baik pula adalah ia yang berani menentang tindakan-tindakan kotor pejabat publik yang doyan korupsi, mangkir dari jam kerja, dan diiringi juga dengan tindak tegas terhadap pejabat publik yang melanggar. Namun sungguh disayangkan, sikap tegas dari “pelayan” itu tidak diiringi dengan dukungan dari yang dilayaninya, sehingga ada beberapa “pelayan” yang baik dan tegas tetapi dijegal oleh berbagai macam hal.
Meskipun dijegal, mereka tetap melayani dengan tulus, ikhlas, dan sepenuh hati. Siapa sajakah mereka?