Bekerja di area yang bersinggungan dengan politik memang terdengar membanggakan. Sebut saja: anggota dewan, staf ahli anggota dewan, pengacara, konsultan politik, atau yang lagi ngetren: pengamat politik. Menyebutkannya di depan calon mertua juga akan terdengar lebih gagah, dibanding bekerja jadi programmer di start-up yang baru berdiri dua tahun.
Tapi baru-baru ini, suara yang mengatakan politik adalah hal kotor bagai air comberan semakin kencang. Anak muda dengan otak cemerlang hanya akan menjadi kerak terpinggirkan kalau sampai nyemplung ke profesi-profesi berbau politik. Jadi kita harus apa? Apakah selamanya harus menjadi pemandu sorak di acara musik televisi?
Daniel Byman, dosen di Georgetown University terheran-heran ketika suatu hari muridnya bertanya, "Ketika anak-anak muda merasa muak dengan kebijakan Donald Trump, haruskah mereka tetap mencoba berkarir di pemerintahan?"
Pertanyaan semacam ini baru didengarnya setelah puluhan tahun mengajar. Rupanya minat anak muda terhadap karir-karir di pemerintahan mulai memudar. Hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan terpilihnya Trump menjadi Presiden. Pria berambut emas itu hanya membuatnya kondisi yang telah ada menjadi semakin buruk.
Melalui 'curhatan' di sebuah artikel, Byman bilang bahwa jika anak muda yang berotak cemerlang semakin jauh dari pemerintahan, masa depan Amerika akan sangat suram. "Semua orang di semua profesi," kata Byman, "Bisa saja berbuat curang dan bekerja dengan tidak cerdas. Namun jika itu terjadi di pemerintahan dan parlemen, kecurangan dalam bekerja itu bisa berarti kematian dan kesengsaraan bagi banyak orang."
Memang, memulai karir di dunia birokrasi, nyaris tanpa kecuali, tak akan lepas dari proses yang rumit dan melelahkan. Ini jika dibandingkan dengan perusahaan multinasional dengan sistem, gaji, dan fasilitas yang menggoda. Namun, berkaca dari kasus Byman, jika semua anak muda berotak paling cerdas di sekolah berbondong-bondong menjauhi karir di pemerintahan, maka yang akan menempati posisi politisi dan birokrat ialah orang-orang kelas kedua. Maka dari itu menurut Byman, seorang cerdik cendekia yang memutuskan untuk menjadi poitisi haruslah mereka yang punya idealisme sangat kuat, dalam konotasi positif.
Dalam konteks Indonesia, dengan kekayaan yang begitu melimpah, ditambah bentang geografis yang demikian kompleks membuat negara ini perlu perlakuan khusus. Bayangkan dengan hebatnya potensi dan tantangan yang ada, Indonesia harus dititipkan ke orang-orang yang kurang kompeten atau, lebih radikalnya, para pemangku kepentingan berpikiran sempit.
Rasanya semua orang setuju bahwa masa depan sebuah bangsa terletak di pundak generasi mudanya. Dalam sebuah wawancara dengan media Belanda, Pramoedya Ananta Toer bilang bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa memperbaiki kondisi negara sekarang ini hanyalah kaum muda. Yang lain tidak.
Senada dengan Pram, Anies Baswedan, salah satu tokoh dunia pendidikan Indonesia, selalu mendorong anak muda untuk tak melulu menjadi obyek para politisi, hanya karena anak muda juga punya hak suara yang layak diperebutkan. Anak muda harus secara aktif menentukan masa depan bangsa, salah satunya dengan menjadi politisi. "Jangan anti dengan politik", kata Anies, "Jika kalian mengidolakan Sukarno, Hatta, Syahrir, maka kalian mesti selalu ingat siapa mereka. Mereka adalah politisi."
