Trump mengklaim bahwa kebijakan imigrasinya tak berhubungan dengan agama. Klaim ini bukan hanya tak akurat, tapi juga menunjukkan betapa tak manusiawinya presiden baru AS ini. Menurut data, tak ada warga negara AS yang terbunuh oleh pemegang paspor dari tujuh negara yang ada dalam daftar hitamnya. Justru sebanyak kurang lebih 2.500 warga AS menjadi korban dalam berbagai serangan teror yang dilakukan teroris-teroris dari negara Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab -- tiga negara yang tak ada dalam daftar Trump.
Kebijakannya untuk melarang masuknya semua warga negara dari tujuh negara tersebut ke AS (baik rakyat biasa atau pengungsi) tak lebih dari pertunjukan yang disuguhkan pemerintahan fasis di mana rasisme dan xenophobia adalah dua dari banyak karakteristik di dalamnya. Dalam fasisme, mengunggulkan suatu ras, bangsa dan komunitas tertentu adalah sebuah keniscayaan. Ketika pengungsi tak lagi berasal dari Eropa Timur yang terdiri dari ras kulit putih dan berubah menjadi kulit coklat dan hitam, rasisme mencuat. Trump sendiri pernah berkata akan lebih mengutamakan pengungsi Kristen.
Berdasarkan laporan Badan Pengungsi Dunia atau UNHCR, Suriah, Sudan dan Somalia merupakan negara asal pengungsi terbesar di dunia. Pemerintahan Trump menginstitusi rasisme dan xenophobia terhadap orang-orang yang berasal dari negara-negara tersebut. Trump berkali-kali menyuarakan propaganda nasionalis di mana rakyat AS didorong untuk selalu mencurigai, bahkan menolak, para imigran maupun pengungsi Muslim.