Ilustrasi opor ayam (vecteezy.com/Reza Fahmi Kalkasandi)
Saat masih kecil, Lebaran menjadi momen yang paling dinanti. Mulai dari bangun pagi untuk salat Idulfitri bersama keluarga, memakai baju baru, hingga berkeliling ke rumah saudara untuk bersilaturahmi dan mengumpulkan THR. Suasana rumah begitu ramai dengan tawa anak-anak yang bermain, aroma khas opor ayam dan ketupat yang menggoda, serta suara tamu yang datang silih berganti.
Dulu, tradisi berkumpul dengan keluarga besar terasa begitu hangat. Tidak ada yang sibuk dengan gadget masing-masing, semua orang benar-benar menikmati kebersamaan. Malam takbiran pun terasa sangat berkesan dengan suasana kampung yang begitu hidup. Bahkan, terdengar suara kembang api di sana dan sini.
Ilustrasi mudik (pexels.com/Photo by Ketut Subiyanto)
Kini, semuanya terasa berbeda. Jalanan menuju rumah nenek di Lumajang, Jawa Timur, jadi lebih sepi. Tidak ada kemacetan seperti dulu.
Anak-anak yang dulu berlarian kini sudah tumbuh dewasa, beberapa merantau dan tidak selalu bisa pulang saat Lebaran. Orangtua yang dulu sibuk menyiapkan hidangan khas Lebaran kini sudah menua, beberapa bahkan telah tiada. Momen berkumpul pun tidak semeriah dulu karena kesibukan masing-masing.
Jika dulu rumah selalu penuh dengan suara canda dan tawa, sekarang lebih banyak orang yang sibuk dengan ponsel mereka. Silaturahmi yang dulu dilakukan secara langsung kini banyak digantikan dengan ucapan lewat pesan singkat atau video call. Rasanya, ada sesuatu yang hilang dari makna Lebaran itu sendiri.
"Orang dewasa" ini pun semakin sadar esensi Lebaran yang sesungguhnya. Lebaran bukan hanya tentang baju baru atau hidangan lezat, tetapi tentang bagaimana kita bisa saling memaafkan, mempererat tali silaturahmi, dan tetap menjaga kebersamaan meskipun dalam keterbatasan.