"Yes! Akhir tahun akhirnya bisa bersama keluarga. Tahun 2020 ini bisa kulewati lebih kuat
bersama keluarga'." — pikirku.
Awal Desember 2020, ibu merasa tidak enak badan. Kakakku sudah biasa merawat beliau
karena mereka memang serumah. Keluarga kami sangat taat protokol kesehatan, hingga
sedetail-detailnya. Di minggu kedua Desember, ibu merasa sesak dan sakit dada kirinya dan terindikasi bermasalah jantungnya. Kemudian ibu akhirnya perlu opname untuk pasang ring jantung. Dalam beberapa hari, ibu sudah diperbolehkan pulang. Sepulangnya di rumah, ibu demam tinggi, tidak doyan makan, mual, dan merasa semua makanan asin. Selain itu, ibu juga merasa sesak dan terus semakin sesak setiap hari. Selang dua hari dari pulangnya ibu setelah opname masalah jantung, ibu terpaksa harus opname lagi.
Saat opname ibu yang kedua di Desember 2020 itu, dokter menduga bahwa penyebabnya
terjadi infeksi saat pemasangan atau pencabutan kateter dari ibu. Semakin lama, napas ibu semakin sesak, ibu batuk-batuk, jadi terpaksa dipakaikan selang oksigen. Hasil foto thorax ibu di hari pertama opname kedua menunjukkan paru-paru yang bersih, tapi dokter
menyampaikan kekhawatiran jika itu COVID-19, jadi ibu harus tes swab. Sambil menunggu
hasil tes swab keluar, ibu harus masuk ke dalam ruang isolasi. Dari sini, kami sekeluarga
sudah sangat khawatir, berhubung ibu sudah diabetes akut dan biasanya butuh bantuan orang untuk beraktivitas.
Saat ibu harus masuk ruang isolasi, tenaga kesehatan yang bertanggung jawab untuk area isolasi memberikan nomor WhatsApp ke ayahku. Di saat itu pula, hasil foto thorax ibu selanjutnya keluar. Mengejutkan, hanya selang waktu dua hari, paru-paru ibu yang sebelumnya sangat bersih, seakan sudah seperti merokok bertahun-tahun. Seiring waktu berjalan, ibu yang awalnya pakai selang, harus diganti masker ketat. Hingga akhirnya ibu pakai ventilator, dalam kondisi masih sadar.
Sejujurnya ibu kurang bisa mengoperasikan handphone, ini yang juga menjadi kekhawatiran kami soal kesulitan ibu dalam menelepon dan mengangkat telepon yang biasa dibantu keluarga. Tapi ibu berusaha untuk bisa melakukannya. Ibu beberapa kali menghubungiku lewat video call WhatsApp, ibu menyatakan tidak bisa tidur sama sekali, akan aku tunggu terjaga jam berapapun untuk bisa menerima panggilan, sampai ventilator ibu bisa dilepas. Aku tak mau menelepon duluan karena takut kondisi ibu sudah berhasil tidur dan malah aku membangunkannya.
Aku selalu menunggu telepon darinya. Ibu curhat sesak dan sakit, aku mencoba membimbing semangat dan doa semampuku, berusaha tersenyum di depan kamera, hatiku menjerit melihat alat-alat yang menempel di ibu dan rasa kesakitan ibu tapi aku harus senyum, tanganku menggenggam erat tangan bapak yang gak mau tampil di video call karena gak kuat lihat kondisi ibu. Begitu ibu menyudahi video callnya, aku menangis ke kakakku, yang terus menenangkanku.
Hingga malamnya, ibu video call lagi dan mungkin kelelahan menggenggam handphone nya, sehingga terjatuh. Handphone itu mungkin terjatuh di atas perutnya, karena terlihat
pergerakan sorotan kamera hapenya naik dan turun seperti irama napas, video call masih
menyala, kemudian tiba-tiba hapenya mati.
Ayahku menghubungi tenaga kesehatan yang menangani dan mengatakan bahwa ternyata baterainya habis, sehingga harus di-charge. Jadi aku tunggu sampai ibu menelepon selanjutnya. Kakak dan ayahku masuk kamar masing-masing. Kakakku saat itu demam, jadi harus banyak istirahat. Ayah pun punya masalah jantung, jadi istirahatnya juga harus cukup. Aku memutuskan untuk tidak tidur, menunggu kapanpun ibu menelepon ke ponselku, sambil berdoa.
Pukul 02.00 WIB tengah malam aku mendapat pesan WA dari ayahku, meneruskan WA
nakes area ruang isolasi. Di pesannya tertulis bahwa kondisi ibuku kritis dengan saturasi
udara 60, kami sekeluarga diminta berdoa yang terbaik. Jujur, rasa takutku saat itu besar, aku tak bisa membendung menangis tapi aku terus berdoa. Tanpa sepengetahuanku, ternyata ayahku pergi ke RS karena dipanggil oleh nakes yang menangani.
Pagi itu, Pukul 04.00 WIB, ayah meneleponku dan mengatakan, “Yu, ibumu, yu. Ibumu
sudah gak ada.” Suara isak tangis bapak terdengar jelas, kebetulan aku sedang berdua dengan kakakku di teras rumah sehabis salat Subuh. Spontan aku menjawab ke ayah, "Duduk, bapak harus duduk bersandar. Jangan keburu nyetir pulang ya!" Lalu telepon kututup. Tangis aku dan kakakku pecah. Suara tangis kami mungkin bisa terdengar dari kejauhan dalam keheningan Subuh itu. Kabar meninggal ibu bersamaan dengan keluarnya hasil tes swab ibu yang ternyata positif COVID-19. Jadi, kami perlu jaga jarak satu sama lain, karena kami tidak tahu siapa di antara kami yang positif dan negatif, untuk saling menjaga.
Ternyata keluarga meninggal COVID-19 di kala anggota keluarga lain belum diketahui hasil tesnya itu sangat menyakitkan. Kami menangis sendiri-sendiri, tidak bisa saling menenangkan, tidak bisa saling memeluk, karena kami harus jaga jarak. Ada tamu pun yang berkunjung untuk takziah, kami yang menangis hanya dilihat dari jarak jauh – yang dalam kondisi normal mungkin rasanya seperti orang gila, tapi itulah yang harus dilakukan.
Kami saling mendengarkan tangisan satu sama lain dari ruangan terpisah. Aku meminta support kepada teman-temanku, karena tidak ada yang bisa kupeluk, status kami masih dalam pantauan dinkes. Seperti yang telah disepakati saat ibu masuk ruang isolasi, pemakamannya menggunakan protokol COVID-19. Aku tak bisa melihat ataupun menyentuh jasad ibuku. Kami juga tidak bisa mengadakan tahlilan demi kepentingan bersama, apalagi ayah dan kakak sedang demam. Kami berpesan pada semua orang bahwa takziah sebaiknya melalui daring saja.