Artikel ditulis oleh Chessa At Thariq, Mahasiswi Master Ilmu Komunikasi, Sekolah Pascasarjana USAHID
Pemerintah Prancis mengambil langkah besar dalam melawan industri fast fashion dengan mengesahkan rancangan undang-undang yang menargetkan beberapa merek fast fashion seperti Shein dan Temu, serta melarang influencer dan merek fast fashion beriklan di media apa pun. Ini adalah pertama kalinya sebuah negara secara resmi menjadikan iklan fast fashion sebagai pelanggaran.
Selama beberapa tahun terakhir, dapat kita perhatikan tren “SHEIN Haul” mendominasi berbagai platform sosial media. Banyak ditemukan unggahan video para influencer yang menampilkan sejumlah besar tas belanja berisikan pakaian – pakaian yang telah mereka pilih sambil memamerkan betapa hemat harga belanja pakaian tersebut. Namun, di balik dari harga murah yang menggiurkan banyak konsumen, tersembunyi biaya yang begitu besar bagi lingkungan.
Menurut badan lingkungan Prancis, Ademe, setiap detik terdapat 35 potong pakaian yang dibuang di negara tersebut dan terdapat 48 potong pakaian baru perorang yang siap dirilis ke pasar setiap tahunnya. Waste Management juga melaporkan bahwa industri fashion secara global bertanggung jawab atas sekitar 35 persen polusi mikroplastik yang berada di lautan, terutama berasal dari serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik. Lebih dari 87 persen serat tekstil di dunia akhirnya dibakar atau dibuang, dan kurang dari 1 persen yang berhasil didaur ulang menjadi pakaian baru.
Menteri Transisi Ekologi Prancis, Agnès Pannier-Runacher, menyatakan bahwa RUU ini adalah sebuah langkah besar yang diambil oleh pemerintah Prancis untuk melawan dampak ekonomi dan lingkungan dari industri fast fashion. “Ini adalah sinyal kuat bagi para pelaku bisnis dan konsumen untuk lebih bertanggung jawab,” ujar Agnès seperti yang dikutip dari France 24.
RUU yang disahkan pada 10 Juni 2025 oleh Senat Prancis ini akan memperkenalkan sistem eco-score untuk menilai dampak lingkungan dari setiap merek berdasarkan emisi karbon, Tingkat konsumsi sumber daya, dan potensi daur ulang produk.
Merek dengan skor rendah akan dikenai pajak hingga 5 euro (sekitar Rp92 ribu) per produk pada 2025 dan 10 euro (sekitar Rp185 ribu) pada 2030, atau maksimal 50 persen dari harga jual barang. Pendapatan pajak ini akan digunakan untuk mendukung industri mode berkelanjutan di Prancis.
Selain pengenaan pajak, RUU ini juga melarang iklan fast fashion di seluruh media, termasuk konten yang diunggah oleh para influencer. Mereka yang tetap mempromosikan produk dari merek tersebut akan dikenakan sanksi tegas.
Kebijakan ini menjadi pukulan telak bagi merek seperti Shein dan Temu yang selama ini mengandalkan promosi lewat media sosial. Namun, Senat Prancis menegaskan fokus utama dari aturan ini adalah merek yang berasal dari luar Eropa. Sementara merek seperti Zara, H&M, dan Kiabi tetap diwajibkan memberi informasi jelas secara terbuka kepada konsumen tentang dampak lingkungan dari produk mereka.
Dikutip dari France 24, anggota Partai Republikan Sylvie Valente Le Hir, yang menyuarakan RUU ini menjelaskan "Saya tidak bermaksud membuat merek Prancis yang berkontribusi pada ekonomi negara kita harus membayar satu euro pun.”
Industri fast fashion di Prancis sendiri tumbuh dengan pesat. Nilainya meningkat dari 2,3 miliar euro menjadi 3,2 miliar euro sejak 2010 hingga 2023. Namun, pertumbuhan itu memiliki dampak yang besar seperti konsumsi berlebihan, pencemaran lingkungan, dan juga tekanan terhadap bisnis lokal.
“Ini bukan sekadar soal belanja, tapi tentang bagaimana kita kehilangan nilai dari pakaian itu sendiri. Fast fashion mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak, lebih cepat, dan membuang lebih sering.” ujar Pannier-Runacher.
Meski mendapat kritik karena dianggap hanya menargetkan sebagian kecil merek, kebijakan ini dinilai sebagai awal dari langkah penting menuju industri mode yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Uni Eropa pun tengah menyiapkan kebijakan serupa, termasuk Digital Product Passport, larangan membuang stok tak terjual, dan regulasi desain ramah lingkungan.
Hal serupa juga dilakukan oleh Otoritas Persaingan dan Pasar (CMA) di Inggris yang mulai memperketat pengawasan terhadap praktik greenwashing. Merek yang terbukti menyesatkan publik dengan klaim palsu ramah lingkungan dapat dikenai denda hingga 10 persen dari pendapatan globalnya. Langkah berani yang diambil oleh Perancis ini mengubah perspektif dunia tentang industri fashion terlepas dari kenyataan bahwa RUU ini masih perlu melewati proses verifikasi hukum Uni Eropa.
Fenomena serupa juga mulai terasa di Indonesia. Tren thrifting haul dan belanja pakaian murah secara daring semakin populer. Namun jika tidak disertai dengan edukasi dan pemahaman tentang kesadaran lingkungan, perilaku konsumtif ini juga dapat menambah tumpukan limbah tekstil dan mengancam industri lokal. Sudah saatnya konsumen Indonesia mulai berpikir ulang: belanja lebih bijak, rawat pakaian lebih lama, dan jadikan fashion bagian dari gaya hidup berkelanjutan.
