Belakangan suhu di berbagai wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Belum lagi permasalahan polusi udara yang ini dirasakan di Ibu Kota Jakarta. Semua hal tersebut merupakan dampak dari adanya perubahan iklim. Bukan hanya permasalahan fisik, ternyata perubahan iklim juga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian.
Bappenas memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp544 Triliun selama tahun 2020 sampai 2024 atau sekitar Rp100 triliun per tahun akibat dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan hilirisasi. Hilirisasi sendiri memiliki pengertian sebagai proses pengolahan bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi. Hilirisasi bisa juga diartikan sebagai proses pertambahan nilai yang tetap mempertimbangkan ketersediaan energi serta aspek keberlanjutan.
Saat ini, melalui #Kementrian Investasi/BKPM, pemerintah Indonesia telah menyusun Peta Jalan Hilirisasi yang berisi 8 sektor prioritas, mulai dari mineral, batu bara, minyak, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, serta kehutanan yang mencakup 21 komoditas, yakni batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi, perak emas, aspal buton, minyak bumi, dan gas alam. Lalu, ada juga kelapa, kelapa sawit, karet, biofuel, kayu getah pinus, udang, ikan, kepiting, rumput laut, hingga garam.
Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Bahadalia, menyatakan bahwa hilirisasi akan mendorong terciptanya green energy dan green industry untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Lalu, bagaimana sebenarnya hilirisasi bisa menjadi salah satu solusi perubahan iklim yang terjadi di Indonesia?