Kepedulian terhadap energi yang ramah lingkungan dan Energi Baru Terbarukan (EBT) kini sedang menjadi perhatian banyak negara-negara di seluruh dunia. Tak terkecuali, Indonesia yang juga tengah mengoptimalkan penerapan energi baru terbarukan. Tentunya, dalam hal ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) juga termasuk dalam Energi Baru Terbarukan (EBT).
Pemerintah Indonesia juga membuat kerangka hukum yang mendorong penerapan energi baru terbarukan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dalam Pasal 9 huruf f angka 1 disebutkan:
"Pada tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 persen sepanjang keekonomiannya terpenuhi."
Namun, untuk realisasinya, dilansir laman resmi kementerian ESDM, EBT di tahun 2021 hanya berkontribusi sekitar 11,2 persen terhadap bauran energi nasional. Dengan porsi terbesar ditempati oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Sementara itu, dalam Energy Outlook 2021 DEN (Dewan Energi Nasional) mengatakan untuk bauran energi fosil seperti minyak bumi mencapai 28,1 persen; gas alam mencapai 21,9 persen; dan batubara mencapai 35,5 persen. Sehingga persentase penggunaan energi fosil Indonesia masih terbilang tinggi dengan angka 85,8 persen. Jadi, jika kita melihat realitas tersebut Indonesia masih jauh untuk merealisasikan energi ramah lingkungan yang zero carbon.
Bahkan untuk porsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), penerapannya masih kurang dari 1 persen. Walaupun begitu, Indonesia masih memiliki potensi dan peluang dalam mengoptimalkan EBT-nya, dalam hal ini mencakup energi surya.