Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Meski telah mengenakan masker, namun jemaah tidak membuat jarak aman untuk menghindari potensi penyebaran virus corona. Indra Abriyanto unttuk IDN Times

Tak pernah terlintas di benakku, Lebaran jauh dari keluarga dan hanya berdiam diri di sebuah kosan di Ibu Kota. Ya, hal itu terjadi saat Lebaran 2020.

Akibat pandemik COVID-19, pemerintah melarang seluruh warga bepergian untuk mencegah penularan virus tersebut. Termasuk larangan mudik saat Lebaran.

Jangankan ada ketupat atau opor ayam, bisa makan saja sudah untung. Namun, setidaknya aku bisa makan daging dengan lauk rendang yang dikirim teman sebagai hampers beserta setoples kue dan sebotol minuman cokelat. Hanya dia yang mengirimiku makanan untuk Lebaran saat itu. Al Fatihah, Kurnia Sari Aziza.

Sedih rasanya. Itu adalah pertama kalinya aku berlebaran jauh dari keluarga, hanya diam di kosan dan menyapa keluarga lewat video call. Menangis sudah pasti. Mengapa aku harus melalui semua ini? Menyebalkan sekali!

Seolah mengerti tentang kesulitan para anak kos— saat buka puasa terakhir, pemilik kosan meminta seluruh penghuni berkumpul di lantai atas. Dia menyediakan nasi kotak untuk kami makan bersama. Memberi sambutan tentang semua ketidakpastian yang terjadi. Dia menjamu seluruh anak kosan yang tidak bisa pulang kampung rayakan Lebaran.

Kami berkumpul bersama, menikmati makanan yang disediakannya bahkan kami juga makan jagung bakar. Pada saat itu pula kami saling berkenalan dengan penghuni kosan lain yang jarang bertemu atau bahkan bertegur sapa. Setidaknya, malam takbiran saat itu tak terasa hampa meski tidak berada di rumah dengan keluarga.

Keesokan harinya, kami yang merayakan Lebaran dalam sepi ini Salat Id bersama masih di tempat yang sama saat makan-makan. Salah satu penghuni yang dituakan, menjadi imam.

Aku masih ingat, saat itu ketika takbir berkumandang aku menatap ke arah langit. Aku teringat keluarga di rumah. Aku membayangkan biasanya apa yang dilakukan saat Lebaran seperti ini. Memikirkannya membuatku cukup sedih.

Setelah salat selesai, aku kembali ke kamar. Aku mengambil ponsel dan menghubungi Mama lewat video call. Tangisku pecah saat memohon maaf lahir batin kepadanya, kepada Bapa, kepada kakakku, keponakanku, dan saudara-saudara lainnya. Tak menyangka bisa melewati Lebaran seperti ini.

Rasanya, aku tak mau mengalami lagi hal seperti ini. Berlebaran bukan di kampung halaman dan tidak bersama keluarga. Namun setidaknya, pengalaman Lebaran di tengah pandemik COVID-19 itu menjadi memori Lebaran tersendiri di salah satu laci otakku yang tak akan pernah kulupa. Lebaran yang menyebalkan!

Editorial Team