Ilustrasi Toko Buku (Book Store) (IDN Times/Anata)
Semalam (29/06/22) saya mendapatkan kabar dari teman penjual buku di Bandung. Katanya, buku yang saya pesan sudah dikirim. Lewat media sosial facebook, saya memesan tiga buku yang ditawarkannya: Forum Bengkarung (1994) karya Yudhistira Anm Massardi, Remang-remang Jakarta (1996) karya Yuyu A.N. Krisna dan Politik Kekuasaan Menurut Niccollo Machiavelli: Il Principe (1997).
Sejak tahun 2014, saya sudah memanfaatkan media sosial untuk mencari buku yang diinginkan. Para penjual buku online sangat berperan penting ketika saya menyusun tugas akhir di bangku perkuliahan. Buku-buku yang tidak ada di perpustakaan kampus, perpustakaan kota, dan perpustakaan daerah—bisa saya pesan ke lapak-lapak online.
Saat itu buku-buku yang saya pesan tergolong langka. Saya harus jeli mencari dari lapak satu ke lapak lain. Adakalanya saya mengirim pesan ke para penjual buku untuk dibantu dicarikan buku yang saya butuhkan.
Dengan bantuan para pelapak online, saya mendapatkan buku Jihad Akbar di Medan Area (1990) karya Amran Zamzami, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008) karya Benny G. Setiono, Negara dan Etnis Tionghoa (2002) karya Leo Suryadinata, Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia (1993) karya Hidajat Z.M dan John Lie: Kisah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan NKRI Dalam Operasi Lintas Laut Militer Menerobos Blokade Belanda (2008). Buku yang disebutkan terakhir merupakan catatan Laksamana Muda John Lie ketika berdinas di Angkatan Laut Republik Indonesia pada masa revolusi fisik.
Membeli buku di lapak online sudah menjadi candu sampai hari ini. Dalam satu minggu ada saja kurir yang datang ke rumah mengantarkan paket berisi buku. Akhir-akhir ini saya sedang berburu buku-buku lawas atau buku-buku kuno. Ini yang menjadi menarik dari para pelapak buku online. Mereka tidak hanya menawarkan buku baru, tapi mereka juga menawarkan buku-buku lawas, koran lawas, majalah lawas, surat-surat lawas dan perangko. Bahkan, ada juga pelapak yang menjual manuskrip.
Sebelum mengenal lapak buku online, saya biasa membeli buku di toko buku yang berada di pusat kota. Dahulu, sepulang kuliah, satu sampai dua kali dalam satu minggu saya mampir ke toko buku. Saya sangat senang berada di dalam toko buku. Namun, setelah mengenal lapak buku online, kebiasaan mampir ke toko buku agak berkurang. Meskipun lapak buku online menyediakan buku-buku yang saya inginkan, tetap saja, saya merindukan suasana di toko buku.
Saya mencoba menanam kebiasaan itu kembali, membeli buku di toko buku offline. Dalam satu bulan, minimal satu sampai dua kali saya harus berkunjung ke toko buku offline. Kembali membaca ratusan judul buku. Memanjakan mata pada deretan dan tumpukan buku. Menghirup sedikit aroma surgawi yang dipercikan Tuhan di dalam toko buku.
Hari ini (2/7/22), untuk melepas kerinduan aroma toko buku, saya sengaja berkunjung ke salah satu toko buku yang masih bertahan di Kota Cilegon. Toko Buku Qiryani namanya. Toko buku ini terletak di jalan D.I. Panjaitan/Pagebangan No. 15 Jombang Wetan, Cilegon. Diapit oleh dua toko (Toko Miumi dan Toko Teladan), toko buku ini tepat berada di depan SDN Cilegon VII. Di depan toko buku terdapat penjual ayam potong yang buka sampai sore hari. Awalnya, Toko Buku Qiryani buka di Jl. A. Yani No 141 Cilegon, jalan utama Cilegon-Serang. Namun karena masa kontraknya habis, pada tahun 2019, toko buku ini pindah ke tempat yang sekarang.
Ketika saya memarkirkan sepeda motor tepat di depan etalase yang memuat buku dan ATK, di dalam toko buku nampak sepi. Hanya terlihat dua orang remaja yang sedang berada di depan layar komputer. Kedua remaja ini adalah anak dari pemilik toko buku.
Memasuki toko buku, tiba-tiba saya terbayang dengan jalanan yang baru saya lewati. Mall dengan ribuan pengunjungnya. “Seandainya toko buku ini seramai toko-toko baju yang saya lewati tadi,” kataku dalam hati.
Di dalam toko buku yang mulai dirintis pada tahun 2004 ini, mata saya mulai menjelajahi deretan buku-buku yang tersusun rapih. Buku-buku sejarah dan sastra mulai menggoda. Namun buku-buku lain pun tak kalah menariknya. Mata saya sibuk melihat dari kanan ke kiri pada deretan judul buku yang tertera. Tiga puluh menit tak terasa saya habiskan dalam toko buku ini. Di toko buku Qiryani ini saya meminang buku H.O.S. Tjokroaminoto: Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa (2020) karya Mikael Marasabessy.
Dari Toko Buku Qiryani, saya mampir ke lapak koran milik Kang Yadi, letaknya di seberang gedung Ex Matahari Lama. Bisa dikatakan, lapak koran ini satu-satunya yang masih bertahan di Kota Cilegon. Di lapak ini saya berlangganan koran mingguan dan majalah Intisari.
Pada edisi bulan Juli 2022 ini, majalah Intisari mengangkat tema Seratus Tahun Chairil Anwar. Tak jauh berbeda cerita penjual buku dan penjual koran di kota ini. Mereka mengeluhkan sepinya konsumen. Semakin hari semakin menghilang keberadaan para pembaca itu, ujar mereka.
Berbicara mengenai eksistensi toko buku di Kota Cilegon, sepengetahuan saya, saat ini ada beberapa toko buku yang masih bertahan; Pertama, toko buku Pioneer; Kedua, toko buku Salemba; Ketiga, toko buku Qiryani; Keempat, Toko Buku Gramedia; Kelima, toko buku Gunung Agung. Gramedia dan Gunung Agung tergolong toko buku yang baru berdiri di kota ini.
Sebelumnya memang ada toko buku yang cukup besar, yaitu toko buku Tisera. Tapi, toko buku itu tutup. Tanpa disadari, setelah lapak koran yang hilang dari kota ini, satu persatu toko buku di kota ini juga perlahan gulung tikar. Alasannya, kurangnya minat masyarakat terhadap budaya membaca yang menyebabkan tutupnya toko buku. Dan alasan selanjutnya cenderung dibuat-buat, yaitu adanya buku digital atau buku elektronik (e-book) yang lebih praktis dan sederhana, katanya.
Ketika berkunjung ke toko buku offline, ada saja obrolan menarik. Meskipun obrolan itu hanya sepintas. “Dulu sama sekarang jauh berbeda. Dulu pengunjung di toko buku ini cukup ramai. Sekarang sepi,” kata pemilik toko buku Qiryani, saat saya berkunjung satu minggu sebelumnya (21/6/2022). Saya masih sibuk membaca judul buku di rak sebelah timur. “Ada pengunjung yang datang. Tapi nawar bukunya kebangetan. Beda sama situ. Milih, tanya harga, langsung bayar. Mereka yang datang ke toko buku hanya orang-orang yang mengerti. Orang-orang yang suka sama buku. Orang-orang yang paham buku,” sambungnya.
Para pelapak buku ini saya anggap orang hebat. Orang besar di negeri ini. Mereka bisa bertahan di tengah-tengah masyarakat yang tidak sama sekali suka membaca. Suka dengan buku. Andrea Hirata pernah menyinggung masalah ini, “berjualan buku di negeri yang penduduknya tidak suka membaca adalah tindakan heroik.”
Banyak kisah menarik dan menginspirasi dari para pedagang buku yang mempertahankan idealismenya itu. Di masa pandemi Covid-19, mereka masih dapat bertahan. Mereka menggunakan ribuan cara. Salah satunya yaitu menggunakan sistem daring (berjualan online). Buku difoto, lalu diupload di media sosial. Atau, mereka para penjual buku menitipkan barang dagangannya di marketplace, seperti: Bukalapak, Tokopedia, Lazada dan Shopee. Begitu juga dengan pemilik toko buku Qiryani ini. Mereka gigih mempertahankan eksistensinya di tengah arus industrialisasi di Kota Cilegon.
Saya sangat berharap, toko-toko buku itu terus bertahan. Terus menyinari kota ini. Dan kalau bisa jumlahnya bertambah. Bagaimana mungkin, mereka ingin membangun peradaban dengan literasi, tapi meninggalkan buku, mengabaikan keberadaan toko buku?
Saya masih ingat dengan pesan guru kami, Ayatulloh Marsai. Kata beliau, “salah satu cara menggaungkan gerakan literasi yaitu dengan mendukung dan mempertahankan eksistensi toko buku.”
“Omong kosong! Mereka yang meneriakan kata ‘literasi’, tapi enggan membaca buku. Enggan berkunjung ke perpustakaan. Enggan datang ke toko buku. Jika ingin membangun peradaban dengan narasi literasi, pertahankan eksistensi toko buku,” itu kataku menutup tulisan ini.