unsplash.com/@thewzrdharry
Salah.
Sebenarnya, kami terpaksa tersenyum hanya untuk menghindari konfrontasi dan bakal langsung cepat-cepat pergi dengan perasaan kesal atau malu terhadap situasi ini. Jarang sekali kamu menemukan kasus di mana para wanita korban catcall ini menyerang balik dan menyuruh pelaku catcall untuk diam dan ngurusin urusannya sendiri. Karena tentu saja, kami bakal dibombardir dengan serangan balik yang lagi-lagi menyuruh kami biar gak lebay dan berlebihan karena cuma diminta buat senyum.
Alah, omong kosong.
Rasanya apa yang orang lain gak sadari adalah apa yang akan terjadi ketika kami menolak untuk tersenyum; jika kami mengabaikan omongan mereka atau mengusir mereka, kami berpotensi untuk dicelakai orang asing yang bahkan baru kami temui hari itu juga.
Jadi, kebanyakan sih, ya, terpaksa aku tersenyum kecut atau pura-pura gak denger kaalu ada yang teriak kayak gitu, karena itu pilihan terbaik. TAPI bukan berarti aku bahagia atau mereka berhasil bikin aku bahagia. Faktanya, malah kebalikannya, aku jijik dan gak suka.
Truth to be told, I'm fed up.
Muak dengan fakta, terlepas dari seberapa majunya hak-hak wanita yang sudah kita raih dalam beberapa dekade ini, kami para wanita masih saja dianggap harus memperbolehkan orang-orang untuk bertindak semena-mena pada kami.
Jadi, nggak. Aku gak bakal menerimanya dan bakal mempermasalahkannya kalau kamu menganggap ini bukan hal yang serius alias sepele. Apa yang seharusnya dilakukan orang-orang adalah berhenti memperlakukan wanita seolah-olah kami adalah boneka yang bisa disuruh-suruh sesuai permintaan.
Selain itu menggurui, itu juga merendahkan, aku sudah gak tahan lagi.
So. Stop. Telling. Us. To. Smile.
Kita cuma pengen jalan dengan tenang.