[OPINI] Hustle Culture: Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi

Pernahkah kamu membaca quotes seperti, “Success isn’t overnight, it’s when every day you get a little better than before. It adds up.” Atau, “Setiap lo males-malesan, ada banyak orang di luar sana yang lagi berprogress.” Dan setelah membacanya kamu berhenti untuk scroll hp, bangun dari rebahan, kemudian duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaanmu.
Apakah dengan begitu lantas kamu berhasil menyelesaikan pekerjaanmu? Mungkin bagi sebagian orang, hal tersebut sangat memotivasi dan menjadi acuan untuk memulai hidup yang produktif. Baik pekerjaan mudah maupun sulit, hal tersebut harus dikerjakan karena pekerjaan itu mungkin akan membawa pada kesuksesan. Sukses adalah sesuatu yang diimpikan oleh semua orang, untuk mencapainya pun tidak main-main kerja kerasnya. Oleh karena itu, sebagai salah satu metode perwujudan menuju kesuksesan tersebut orang-orang mulai membiasakan diri untuk memiliki gaya hidup Hustle Culture.
Dikutip dari channel YouTube Gita Savitri Devi (@gitasav), Hustle Culture adalah suatu gaya hidup di mana seseorang harus bekerja kapan pun dan di mana pun, dengan begitu orang tersebut akan puas dan merasa hidupnya akan sukses. Istilah lain dari Hustle Culture yang lebih dikenal di masyarakat adalah ‘gila kerja’. Fenomena ini tumbuh dalam kehidupan kaum Millenial dan Gen Z disebabkan oleh banyaknya tekanan dari perkembangan zaman Revolusi 4.0 yang serba cepat. Bahkan, kondisi pandemi COVID-19 yang membuat seluruh pergerakan dari setiap kegiatan menjadi terbatas, bukan lagi menjadi masalah untuk tetap produktif dan terus bekerja.
Gaya hidup yang minim memiliki waktu istirahat ini bukan hanya mengacu pada pekerjaan tetapi juga aktivitas apapun yang membuat para hustler merasa sibuk. Contoh orang-orang yang mulai menormalisasi Hustle Culture adalah orang dewasa yang memang berada dalam usia kerja, mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas kuliah dan organisasi, bahkan siswa yang akan melewati masa ujian. Bagi mereka, lebih baik memiliki waktu istirahat yang sedikit daripada harus meninggalkan pekerjaan. Tidur hanya tiga jam sehari atau makan kalau sempat pun menjadi sebuah kebiasaan.
Apakah Hustle Culture menguntungkan atau justru merugikan?
Mereka yang menerapkan gaya hidup ini cenderung memprioritaskan pekerjaan dibanding tidur. Padahal, tidur memiliki peran penting bagi kerja otak. Mander et al. (2017) menyatakan bahwa tidur memiliki hubungan dengan fungsi neuron dalam otak. Jadwal tidur yang tidak teratur membuat kerja antara batang otak, otak tengah, dan hipotalamus menjadi tidak seimbang. Hipotalamus yang mengatur pekerjaan galanin akan menurun hingga menyebabkan melemahnya fungsi memori dan kognisi pada otak (Saper et al., 2010). Dilansir dari laman Frontiers, galanin adalah neuropeptida yang membawa pesan tambahan dalam sel saraf bersama dengan neurotransmitter (Hokfelt et al., 2018). Kurang tidur juga menyebabkan perilaku individu akan lebih abusive terhadap orang lain daripada saat tubuh memiliki waktu tidur yang cukup (Barnes et al., 2014). Hal tersebut tentu saja akan menghambat pekerjaan karena lingkungan merasa enggan untuk membantu mereka yang memiliki perilaku kasar.
Selain kurang tidur, para hustler terbiasa melupakan waktu makan. Perilaku tersebut dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dan sakit kepala. Di samping itu, perilaku jarang makan ini juga dapat membentuk kebiasaan-kebiasaan makan baru seperti Cognitive Restraint, yaitu membatasi mengonsumsi makanan dengan tujuan mengatur berat badan. Kemudian ada Uncontrolled Eating, yaitu perasaan tidak bisa mengontrol makanan yang masuk apalagi saat lapar. Dan ada Emotional Eating, yaitu perilaku makan berlebihan disebabkan perasaan negatif dari diri sendiri (Karlsson et al., 2000). Apabila kebiasaan kurang tidur dan rendahnya kompetensi makan berlangsung dalam satu waktu, maka dampaknya adalah kenaikan berat badan drastis hingga obesitas (Quick et al., 2014).
Akibat dari pikiran yang terus berorientasi pada kerja, kerja, dan kerja, para hustler jarang memiliki waktu quality time bagi diri sendiri atau bersama orang-orang terdekat. Padahal, kegiatan me-time ini sangat membantu otak agar dapat fresh kembali dan membantu agar hidup terasa lebih santai. Terlalu banyak bekerja akan menyebabkan kelelahan, ketika lelah ini sudah menyambar psikologis seseorang maka yang akan dirasakan oleh orang tersebut adalah burnout, yakni perasaan emosional yang menunjukkan kelelahan secara mental, depersonalisasi, dan merasa kurangnya pencapaian disebabkan oleh pekerjaan (West et al., 2018).