Cerita pendek (cerpen) “Robohnya Surau Kami” ditulis oleh sastrawan kenamaan Minangkabau yang dikenal dengan nama pena A.A. Navis. Sebagai sastrawan legendaris, A.A. Navis sangat produktif melahirkan karya sastra berupa cerpen dan novel yang bermutu tinggi. Banyak petuah dan pelajaran hidup yang dapat dipetik melalui perenungan atas karya-karyanya.
Karyanya yang sangat terkenal adalah cerpen “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini berkisah tentang seorang kakek penjaga surau yang memilih mengakhiri hidupnya setelah mendengar cerita dari seorang pembual bernama Ajo Sidi.
Si kakek, entah karena memahami bahwa cerita pembual itu merupakan analogi tentang dirinya yang hanya sibuk beribadah dan mengabaikan hubungan antarmanusia serta alam sekitarnya, atau karena sebab lain, akhirnya tenggelam dalam keputusasaan. Dalam cerita tersebut, tokoh utama bernama Haji Saleh—seorang yang sangat religius—justru diperintahkan Tuhan untuk masuk neraka ketika sudah berada di akhirat.
Berikut bagian cerpen ketika Haji Saleh ditanyai Tuhan tentang amalannya di dunia:
“Apa kerjamu di dunia?”
“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”
“Lain?”
“Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.”
“Lain.”
“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.” (Navis, 2007:7)
Ironisnya, setelah mendengar pernyataan tersebut, Tuhan justru memerintahkan Haji Saleh dimasukkan ke neraka. Haji Saleh tidak terima dan memimpin protes bersama orang-orang senasib dengannya. Tuhan tetap pada keputusan-Nya dan menjelaskan alasan mengapa mereka semua—para penyembah-Nya yang taat—harus berada di neraka:
“Engkau rela tetap melarat, bukan?”
“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”
“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”
“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”
“Ada, Tuhanku.”
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat hingga anak cucumu teraniaya semua, sedangkan harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh dan tidak membanting tulang. Padahal Aku menyuruh kamu semua beramal. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah saja? Tidak.
Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” (Navis, 2007:11–12)
Dari kutipan ini, tampak bahwa Tuhan yang digambarkan dalam cerpen tersebut memandang amalan manusia bukan sekadar pemujaan ritual, melainkan kerja sosial dan tanggung jawab bersama dalam merawat kehidupan, termasuk lingkungan hidup sebagai harta bersama umat manusia.
Dalam konteks lain, filsuf Jerman Karl Marx dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right juga mengkritik praktik keagamaan yang sebatas ritualistik. Ia menyatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature... It is the opium of the people.” (Marx, 1970:3)
Bagi Marx, agama sering menjadi pelarian dari penderitaan nyata, bukan sarana pembebasan dari ketimpangan sosial. Kritik ini sesungguhnya lebih ditujukan pada praktik keagamaan di Eropa abad pertengahan, ketika institusi agama meninabobokkan manusia agar menerima penindasan sebagai takdir.
Di Minangkabau, ajaran hidup sebetulnya telah berakar kuat dalam falsafah Alam Takambang Jadi Guru. Alam bukan sekadar ruang hidup, melainkan sumber kebijaksanaan. Pandangan hidup ini tercermin dalam pepatah, petitih, pituah, dan mamangan yang seluruhnya berangkat dari realitas alam (Ramayulis, 2010:129).
Sistem nilai ini diwujudkan dalam Tungku Tigo Sajarangan: alim ulama, ninik mamak, dan cadiak pandai—yang menopang kehidupan sosial secara seimbang melalui prinsip alua jo patuik, anggo jo tanggo, dan raso jo pareso. Intinya adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya secara adil dan berperikemanusiaan (Ramayulis, 2010:130).
Makna utama dari falsafah Alam Takambang Jadi Guru ialah hidup selaras dengan alam—air, tanah, dan pohon. Inilah inti etika ekologis Minangkabau: bahwa segala sesuatu memiliki batas, fungsi, dan kadar keseimbangan.
Di masa lalu, kearifan ini tampak dalam praktik rimbo larangan dan pengelolaan air berbasis gotong royong. Alam diperlakukan sebagai bagian dari diri manusia, bukan sekadar objek eksploitasi.
Namun, modernisasi dan kapitalisme telah menggerus nilai tersebut. Sawah berubah menjadi perumahan, hutan ditebang, dan tanah diperlakukan semata sebagai komoditas. Kerusakan alam pada hakikatnya adalah kerusakan manusia itu sendiri.
Banjir dan Longsor di Sumatera: Teguran Alam yang Nyata
Banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatera hari ini menjadi penegasan nyata atas kritik ekologis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”. Ketika alam diperlakukan sebatas komoditas untuk mendatangkan keuntungan belaka, maka bencana bukan lagi misteri, melainkan akibat sosial-ekologis yang dapat dijelaskan secara rasional.
Di sinilah kritik A.A. Navis menemukan relevansinya. Bahwa kesalehan tanpa kepedulian sosial dan ekologis hanyalah kehampaan spiritual. Sebagaimana Haji Saleh yang hanya sibuk mengurusi akhirat, masyarakat hari ini pun kerap lupa menjaga dunia.
Falsafah Alam Takambang Jadi Guru seolah kembali menegur: alam bukan sekadar tempat hidup, melainkan guru kehidupan. Banjir dan longsor bukan hanya peristiwa geologis, melainkan krisis moral dan budaya.
Ketika rimbo larangan dilanggar, hutan digunduli, sawah menjadi beton, dan sungai tercemar, maka kehancuran menjadi keniscayaan. Bencana hari ini adalah pelajaran pahit bahwa pembangunan tanpa kearifan ekologis sama berbahayanya dengan kesalehan tanpa tanggung jawab sosial.
Daftar Pustaka
Marx, K, 1970, Critique of Hegel’s Philosophy of Right, Oxford University Press, England
Navis, A.A, 2007, Robohnya Surau Kami, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Ramayulis, 2010, Traktat Marapalam “Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah,” Diktum Keramat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat, Disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies, Banjarmasin 1-4 November.
