Ilustrasi seorang laki-laki (unsplash/ Brunel Johnson)
Michael Foucault pernah menyatakan bahwa mereka yang menyukai buku-bukunya dapat menjadikan kalimat-kalimat yang ada di dalamnya sebagai perkakas analisis. Semacam obeng atau kunci pas untuk membongkar dan melucuti sistem kekuasaan. Seperti peluru dan tank, norma kultural ramuan media massa begitu juga media sosial mesti diperhitungkan.
Tentu, seperti pesan Foucault, untuk melucuti sistem kekuasaan yang dilanggengkan oleh media, dibutuhkan segala macam perkakas analisis. Kotak yang memuat seluruh perkakas konseptual itu bernama buku. Buku tidak hanya meng-alienasi, mengasingkan kita dari ramainya lalu lintas informasi lewat smartphone namun juga mengasah kemampuan kritis; suatu proses yang menandai kemanusiaan kita.
Setiap sistem kekuasaan punya hasrat terhadap hegemoni. Dalam hegemoni, yang berbeda itu berbahaya dan oleh itu, mesti dilenyapkan. Jangan kira hegemoni ini bersifat kaku sebab ia ditopang oleh perangkat ideologis yang digali dari berbagai sendi: Agama, Politik, Sejarah, hingga Seni. Semua diarahkan untuk mengakui suatu asas tunggal yang hanya punya satu tafsir yaitu tafsir penguasa.
Ingatlah, segala bentuk penindasan dari sistem kekuasaan yang sedang berlaku akan selalu dimaklumi bahkan cenderung dibenarkan. Tidak peduli sebejat dan semengerikan apa pun bentuknya. Setiap aksi atau mungkin sekadar pikiran yang berbeda dari yang dibenarkan oleh penguasa akan dianggap subversif atau makar. Yang terakhir ini menjadi andalan karena selain dibangun dari ketakukan warisan juga mengancam zona nyaman banyak orang.
Namun, seperti yang disampaikan oleh Hannah Arendt, pembangkangan terhadap sistem kekuasaan baik itu bersifat religius, sosio-politis, maupun sekuler sebagai sesuatu yang normatif dan universal suatu hari nanti akan dicatat oleh sejarah sebagai tindakan heroik di zamannya. Lihat saja perlawanan terhadap hegemoni sebelumnya, baik Orde Lama maupun Orde Baru, mereka yang dahulu merongrong pemerintahan sah justru dipuja sebagai pahlawan pada hari ini.
Tak ada hal yang paling mengerikan, bahkan untuk sekadar dibayangkan, selain kekuasaan yang bersanding dengan hegemoni. Sebab bila kedua hal itu menyatu, nyawa manusia hanya seharga kutipan sejarah. Lord Acton pernah menulis ke Mandell Creighton sebuah kutipan legendaris, "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" ketika mengkritik konsep ma'shum (tanpa dosa dan cela) Paus Paulus yang dicetuskan Gereja Katolik pada Vatican Council pertama di tahun 1869-1870.
Manusia itu serakah, kata Adam Smith, sehingga ia bernafsu untuk mengendalikan keuntungan untuk kepentingan pribadinya. Meski kemudian John Nash membantahnya dengan mengatakan bahwa manusia akan meninggalkan egonya dengan berkolaborasi dengan yang lain, hal ini justru semakin membuat persekutuan politis demi mencapai kekuasaan semakin menguat.
Tokoh-tokoh besar punya sisi gelap, setidaknya dalam perjalanan mereka menuju ketenaran. Ungkapan Lord Acton itu berlaku bukan hanya kepada mereka yang haus kekuasaan namun juga kepada mereka yang sekadar mencari pengaruh. Bahkan, menurutnya, jika suatu sistem sosial atau tata negara menggaransikan kuasa tanpa batas pada sosok penguasa maka hal itu merupakan bid'ah yang paling parah.
Bung Hatta sendiri pernah menasihati mereka yang terlampau percaya diri menulis biografinya sendiri. Bentuk pengidolaan seperti itu biasanya hanya menunjukkan sisi positif dari tokoh yang ditulis dan melupakan semua kesalahan serta khilafnya. Padahal, justru biografi yang baik adalah yang menceritakan kedua sisi manusia itu dalam lingkaran konfliknya.
Selain itu, beliau juga sangat antipati terhadap mereka yang menulis biografi sementara ia sendiri masih hidup. Bung Hatta berpendapat bahwa ketokohan akan paripurna jika lembaran hidup tokoh tersebut telah tertutup. Meski tidak sesarkas Chairil Anwar yang berpikir untuk sekali berarti sesudah itu mati, Bung Hatta mencela modus pendewaan karakter lewat biografi.
Sikap yang terus menerus ingin mendapat perhatian publik untuk menduduki jabatan tertentu merupakan penyakit mental yang akut. Belum lagi yang terus membanjiri laman profilnya dengan portrait wajah disertai quote gagasan kepemimpinannya. Dalam Epos Mahabharata disebutkan, orang yang mabuk karena kekuasaan tidak bakal pingsan karena kehilangan kesadarannya. Itu yang membuatnya jauh lebih buruk dari mabuk karena minuman keras.
Kekuasaan, terutama yang tersentralisasi lewat tokoh atau asas tunggal, merupakan ancaman bagi pembangunan peradaban. Rezim akan silih berganti namun warisan intelektual dan kebudayaan tetap mesti berlanjut. Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni merupakan sesuatu yang wajar, atau bahkan niscaya, dalam sebuah sistem kekuasaan.
"Hanya dalam dongeng, cerita anak, dan jurnal opini intelektual diceritakan bahwa kekuasaan dapat digunakan secara bijak untuk mengalahkan kejahatan. Di dunia nyata tidak seperti itu. Hanya dengan sikap acuh tak acuh yang serius dan naif orang bisa gagal untuk menyadarinya," kata Noam Chomsky. Sehingga kekuasaan yang baik adalah kekuasaan yang tiada.
Lahirnya Milisi Fanatik
McPherson, Smith-Lovin, dan Cook pada tahun 2001 mengemukakan Prinsip Homofili yang menjelaskan lingkaran pergaulan tertutup individu sehingga menuntun kepada kehidupan sosial yang monoton. Hal tersebut kemudian berdampak pada jenis informasi yang mereka terima, perilaku yang mereka bentuk, hingga interaksi yang mereka alami. Singkatnya, prinsip itu menjelaskan individu yang hanya hidup lingkaran komunitasnya sendiri.
Homofili sendiri bukanlah konsep yang baru. Sedari dulu, manusia cenderung tertarik dan berkumpul dengan mereka yang punya ketertarikan yang sama. Secara alami, seseorang akan mencari rekan yang karakternya mirip dengan karakter dirinya. Lingkaran yang dibangun berdasarkan kemiripan minat dan ciri-ciri ini berlaku pada ras, kepercayaan, gender, status sosial, hingga pilihan politik.
Dengan hadirnya media sosial, lingkaran pergaulan ini semakin mudah terbangun. Aplikasi berbasis web yang berjalan atas algoritma ini mempertemukan mereka dengan aktivitas daring yang mirip. Entah melihat profil, kata kunci yang sering digunakan, atau preferensi klik. Algoritma ini pula yang mengatur suplai informasi yang diterima oleh masing-masing individu di komunitas tersebut.
Pola "echo chamber" yang diciptakan algoritma tersebut membuat informasi hanya terpantul atau mengalir di komunitas tertentu saja. Proses ini terus berlangsung hingga hanya tersisa satu keran informasi tunggal. Informasi yang muncul hanya yang mendukung pilihan pembacanya atau setidaknya sesuatu yang ingin mereka baca. Pandangan atau pendapat berseberangan disaring dengan ketat.
Meski kombinasi homofili dan media sosial ini mampu menciptakan pasar positif bagi pelaku industri kreatif dengan menjaga konsumen mereka tetap dekat, terdapat konsekuensi yang mesti diantisipasi. Fenomena "echo chamber" ini akan memicu polarisasi perdebatan politis di ruang-ruang publik dan memicu lahirnya kelompok ekstrimis; milisi fanatik yang menganggap kelompok yang tidak memiliki pandangan yang sama dengan mereka mesti disingkirkan.
Prinsip homofili yang ditunggangi media sosial mungkin saja membuka jalan bagi kita untuk menemukan kesamaan yang mampu menyisihkan perbedaan kita. Jalan yang menuntun kita menghargai sesama dan membangun peradaban atas dasar kerjasama serta interaksi mutualisme. Namun pada perkembangannya, perangkat cerdas yang mengawinkan homofili dengan media sosial justru semakin mempertegas perbedaan kita.
Buku Sebagai Gerilya Intelektual
Hantaman peluru-peluru informasi yang terus mengecam kebebasan dan kenyamanan kita di tiap waktu hanya punya satu tujuan; bahwa kita membutuhkan suatu sistem kekuasaan yang mengendalikan buasnya kehidupan liar akibat tendensi manusia untuk menguasai satu sama lain. Sistem ini pula mesti dijaga kelestariannya oleh penguasa yang suka tidak suka mesti kita pilih dan taati. Sebab jika tidak, kita tak akan pernah merasa aman dan hidup tenang.
Pemegang tampuk kekuasaan ini akan terus berupaya menjaga hegemoni dengan memanfaatkan kelemahan dasar kita yaitu kebutuhan untuk hidup tentram. Di titik inilah media berperan penting. Seperti diadegankan dengan apik dalam V for Vendetta, media akan terus memenuhi layar kaca kita dengan dua hal: bencana dan hiburan.