Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
(Polisi membagikan beras kepada pengemudi ojek daring saat kegiatan imbauan penggunaan masker di Jalan Dr Ir H Soekarno, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/4/2020). Kegiatan itu untuk mencegah penyebaran Virus Corona (COVID-19) dan meringankan beban ekonomi para pengemudi ojek daring) ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Suatu ketika teman saya menghubungi saya via Instagram. Ia mengajak saya berbincang tentang buku saya yang berjudul Bang Ojol Menulis. Buku tersebut ingin ia bahas dalam dialog santai via daring dengan memanfaatkan fitur live di Instagram.

Setelah saya dan teman saya sepakat tentang waktu dialog via Instagram, segera saya bersiap untuk memenuhi undangan tersebut. Karena dialog santai, persiapan saya tak banyak. Cukup sedia kuota internet dan camilan untuk menemani saya live via Instagram.

Dialog dibuka dengan pertanyaan mengapa saya menulis buku tentang ojek online. Lebih tepatnya tentang pengalaman perjumpaan saya dengan pengguna ojek online. Saya jawab bahwa dalam setiap perjumpaan itu terkadang ada ide yang menurut saya bagus untuk ditulis. Tak hanya itu, perjumpaan dengan sesama rekan pengemudi ojek online juga sedikit banyak memberi ide tulisan bagi saya.

Ditengah dialog itu, teman saya melempar pertanyaan yang membuat saya agak berpikir keras. Ia bertanya tentang bagaimana masa depan ojek online setelah Corona. Ia penasaran apakah layanan ojek online ini akan tetap bertahan setelah Corona berakhir, atau malah perlahan meredup dan hanya menyisakan cerita saja.

Bagi saya pribadi, soal eksistensi ojek online masih belum jelas pasca Corona. Di satu sisi, dalam pantauan saya, banyak masyarakat yang masih menggunakan jasa ojek online, terlebih ketika beberapa daerah menerapkan karantina wilayah secara mandiri. Karantina yang saya maksud tersebut memang kebanyakan terbatas pada penutupan akses jalan pada jam-jam tertentu. Akibat hal itu, mau tidak mau banyak orang memesan ojek online untuk berkirim barang atau layanan pesan antar makanan. Selain itu, karantina tersebut membuat masyarakat makin menyadari keberadaan ojek online yang siap membantu keperluan mereka kala himbauan pembatasan interaksi fisik (physical distancing) masih kuat bergema dan fakta di lapangan berkata bahwa tidak setiap orang bisa bekerja dari rumah (work from home).

Tapi di sisi lain, saat ini hampir semua industri terkena imbas Corona. Mulai dari industri kecil, menengah hingga besar tak luput dari serangannya. Akibat yang terjadi sangat beragam, mulai dirumahkan dengan potongan gaji, dirumahkan tanpa gaji hingga yang paling parah, terkena pemutusan hubungan kerja.

Fleksibilitas waktu kerja memang membuat ojek online masih eksis meski Corona belum reda. Tetapi, perlu diketahui bahwa meski mereka eksis, terjadi penurunan pemasukan yang signifikan akibat banyak konsumen terkena dampak ekonomi. Seorang konsumen yang tiap hari menggunakan jasa ojek online, saat mereka terkena dampak finansial, tentu mereka akan menghemat pengeluaran sehingga mereka mengurangi pemakaian jasa ojek online. Saat banyak konsumen mulai ketat soal pemakaian jasa ojek online, imbasnya orderan yang ada akan berkurang.

Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah soal investor pada perusahaan penyedia aplikasi. Karena kondisi ekonomi yang belum jelas hingga sekarang, saya kira para investor akan terus berkalkulasi sambil mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada pasca Corona mereda. Investor bisa saja tetap yakin pada perusahaan dan terus menyuplai dukungan dana. Mungkin juga investor akan menahan diri dan belum memutuskan sikap, bahkan nanti ketika Corona benar-benar pergi.

Tidak hanya soal diatas. Kepastian status pengendara ojek online pun belum jelas hingga sekarang. Maksud belum jelas disini adalah masih beredarnya anggapan bahwa ojek online adalah karyawan dari sebuah perusahaan penyedia aplikasi. Dalam praktiknya, sistem perekrutan ojek online atau biasa disebut sebagai mitra ojek online adalah menggunakan sistem kemitraan. Bila disebut kemitraan, maka undang-undang yang dipakai bukan undang-undang tentang ketenagakerjaan, tapi undang-undang tentang kemitraan.

Karena sifatnya kemitraan, menurut saya harus ada koordinasi yang intens antara penyedia aplikasi dengan mitra. Koordinasi itu semisal adanya fitur atau layanan baru atau perihal kejadian yang tidak mengenakkan saat sedang melaksanakan order. Tak jarang terjadi kemunculan fitur atau layanan baru tanpa ada koordinasi antara keduanya dan dilakukan secara sepihak oleh penyedia aplikasi. Bahkan tak jarang kita dengar adanya pemutusan kemitraan sepihak dari penyedia aplikasi karena hal-hal sepele seperti pemberian nilai atau rating rendah kepada mitra padahal mitra itu tidak melakukan hal-hal yang menyalahi aturan atau undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, kepastian payung hukum perlu mendapat perhatian khusus agar dapat memberikan perlindungan maksimal bagi pihak-pihak yang bermitra terutama pengemudi ojek online.

Melihat kondisi yang belum jelas hingga saat ini, saya hanya bisa berharap bahwa saat Corona pergi, akan ada perubahan besar dalam dunia ojek online agar eksistensinya tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Perubahan yang bisa membawa dampak positif khususnya bagi mitra pengemudi. Meski terkesan berlebihan, saat krisis seperti ini, apalagi yang bisa dijadikan andalan selain harapan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team