Pexels.com/Lino Khim Medrina, diedit di Canva
Penetrasi Tinder dalam kondisi sosial budaya touristic Bali menghadirkan pola yang menarik. Penulis yang telah mengamati dan menjadi pengguna aktif Tinder sejak tahun 2016 menemukan, bahwa hampir 70 persen pengguna baik laki-laki dan perempuan, didominasi oleh pendatang (Ekspatriat atau wisatawan).
Selain terdeteksi dari paras, pendatang tersebut kerap menyatakan deskripsi dirinya pada bagian About Me. Sedangkan 20 pesen dari pengguna Tinder merupakan pribumi. Baik warga asli Bali, maupun warga di luar Bali yang sedang singgah atau menetap di Bali.
Mekanisme penggunaan Tinder, dilengkapi dengan pola unik sosial di Bali telah membuka peluang yang lebih lebar untuk timbulnya interaksi antara pribumi dengan warga pendatang tersebut. Faktanya, interaksi tersebut memang tidak bisa dipungkiri.
Bali yang kental dengan dunia pariwisata telah memberi ruang luas untuk terjadinya interaksi antar dua pihak berbeda warga negara, baik antara pekerja pariwisata dengan 'tamu' (Istilah untuk menyebut Turis Asing), pertemanan yang terjalin melalui klub sosial, dan beberapa kesempatan lainnya.
Di balik terbuka lebarnya gerbang sosial, tidak bisa dipungkiri bahwa ada satu atau dua motif yang tidak lumrah dalam penggunaan Tinder di Bali. Mulai dari mencari teman, Travel Buddy , mempromosikan bisnis (Guide, driver, agen properti), hooking up, dan juga menawarkan 'jasa layanan' yang lain.
Setelah sebelumnya para pekerja seks dengan jelas menjajakan diri di jalan seputaran jantung kota Pariwisata di Bali, ataupun di klub–klub malam dan kafe di lokasi yang sama, para 'kupu-kupu malam' tersebut kini melihat Tinder sebagai kesempatan bisnis yang baru.
Fitur aplikasi Tinder yang memungkinkan pengguna untuk mengunggah 10 foto, mendeskripsikan dirinya dalam 500 karakter About Me, dan mengatur match sesuai lokasi, dinilai pas dengan lingkungan bisnis para penghibur tersebut.