Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kondangan (unsplash.com/@nate_dumlao)
ilustrasi kondangan (unsplash.com/@nate_dumlao)

Intinya sih...

  • Kondangan di Jawa Timur sering dikaitkan dengan konsumsi alkohol tradisional seperti tuak dan ciu.

  • Tradisi kondangan seharusnya merupakan ajang silaturahmi dan gotong royong, namun terkontaminasi dengan budaya minum yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.

  • Stereotip negatif tentang kondangan Jawa Timur semakin menguat, padahal masih banyak contoh kondangan yang berjalan baik tanpa unsur mabuk.

Setiap kali ada undangan pernikahan di Jawa Timur, entah mengapa selalu ada satu pertanyaan yang menggantung di udara: "Nanti ada tuaknya nggak?" Pertanyaan ini mungkin terdengar sepele, namun sebenarnya mencerminkan sebuah fenomena sosial yang lebih dalam. Budaya kondangan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi dan gotong royong, kini seolah tak bisa dipisahkan dari ritual "sembrek" alias mabuk berjamaah. Ironisnya, hal ini justru terjadi di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Lantas, apakah memang benar kondangan di Jawa Timur sudah "terkontaminasi" sedemikian rupa? Atau ini hanya stereotip yang terlanjur mengakar kuat?

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu melihat akar sejarahnya terlebih dahulu. Kondangan sendiri berasal dari kata "kondang" yang berarti terkenal atau dirayakan. Tradisi ini lahir dari semangat gotong royong masyarakat Jawa yang ingin berbagi kebahagiaan bersama. Dalam konteks pernikahan, kondangan berfungsi sebagai bentuk dukungan moral dan material kepada keluarga yang mengadakan hajatan. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi murni ini mulai "bercampur aduk" dengan berbagai elemen lain. Salah satu yang paling kontroversial adalah masuknya budaya minum minuman beralkohol tradisional seperti tuak dan ciu.

Editorial Team

Tonton lebih seru di