Sun Tzu, penulis The Art of War mengingatkan bahwa jika anda mengenal musuh dan mengenal diri anda sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran. “Musuh” yang dimaksud di dalam film tentu bukan sosok tapi sifat; keraguan, ketakutan, rasa malas, tidak percaya diri, tidak bisa bekerja dalam tim. Sementara, “mengenal diri” adalah memahami maksud dari film ini dan mengoptimalkan segala potensi.
Fajar Nugros yang menjadi sutradara Film Balada Si Roy, sejak hari pertama berusaha untuk memastikan bahwa ia tidak salah memilih kru film. Ia menaruh kepercayaan sebesar mungkin kepada setiap divisi, kepada setiap personil. Di sisi lain, sepertinya ia juga memahami bahwa di awal-awal syuting akan terjadi distorsi dalam beberapa hal. Memang semua personil sedang beradaptasi, tetapi ia takmau berlama-lama. Jika adaptasi tidak bisa dilakukan dengan cepat, maka akan begitu banyak kerugian yang dihadapi. Selain itu, ia juga harus mempertimbangkan fenomena takterduga seperti cuaca, belum lagi urusan pandemi Covid-19 yang bisa menyergap siapa saja.
Di hari ke-2 (11-1-2021), walau takterlalu lama, hujan disertai angin kencang kembali mengguyur lokasi syuting. Beberapa kali pengambilan gambar terpaksa dihentikan. Di waktu seperti itu, Fajar Nugros berusaha untuk berkomunikasi dengan tim inti. Tim lain berusaha untuk memperbaiki seting lokasi akibat percikan hujan. Ketika reda, syuting jalan lagi. Fajar Nugros berusaha meningkatkan eskalasi. Energi cukup terkuras di hari ini. Beberapa miskomunikasi terjadi dan berulang.
Suara instruksi Fajar mulai meninggi kepada kru, hingga sekitar pukul 17.00 suasana pecah. Emosi sutradara tiba-tiba meledak. Ia keluar dari ruang monitor dan memanggil divisi yang bertanggung jawab dengan suara yang cukup keras. Selain Fajar, suasana hening dan sedikit mencekam.
Persoalannya sederhana, walaupun dapat menjadi serius dalam perspektif estetika dan sebab-akibat penceritaan. Sutradara membutuhkan sebuah buku Tahun 1984 karya George Orwell. Windu Arifin yang bertanggung jawab terhadap buku itu sebetulnya sudah menyediakan dengan desain cover yang nyaris sama, berwarna merah dengan dua gedung yang bersebelahan. Tetapi yang dibutuhkan sutradara adalah insert konten teks. Sementara Windu berasumsi bahwa pengambilan gambar hanya sampul bukunya saja.
Tentu perdebatan menjadi tidak penting ketika “peperangan” sedang berlangsung dan Windu sadar posisi dan berusaha memperbaiki kekurangannya. Dari sini, terlihat sekali bagai mana sebuah kedewasaan dituntut dan perasaan dilipat sedemikian rupa. Memang perlu waktu bagi orang-orang yang hanya mengandalkan perasaan dan lupa dengan kompetensi.
Fajar kembali ke ruang monitor, lalu mendatangi lokasi kelas yang memang masih menyisakan lagi satu scene. Beberapa talent dan kru terlihat kikuk ketika sutradara datang. Fajar malah senyum-senyum seakan kejadian tadi tidak pernah terjadi. Di tempat lain, Windu dan tim berusaha memutar otak untuk memastikan bahwa halaman demi halaman novel Tahun 1984 terisi, termasuk halaman mana yang harus di-insert ke dalam kamera.
Ketegangan itu hanya berlangsung sebentar. Fajar berusaha mencairkan suasana dengan menyapa dan memberi instruksi. Sepertinya ia berusaha memakai shock therapy agar setiap kru bisa bekerja sama dan fokus pada setiap tugasnya. Ia betul-betul mengharapkan agar beattlefiled dimenangkan dengan mengadaptasi Art of War Sun Tzu. Pada hari ke-2 ini sutradara memaksa semua kru untuk mengetahui siapa musuh dan siapa diri sehingga seperti lanjutan pesan Sun Tzu, ketika sudah memahami musuh dan diri, maka kita tidak perlu takut akan hasil dari ratusan pertempuran.
Efek shock therapy di hari ke-2 itu rupanya terlihat dan berdampak pada hari berikutnya. Tidak ada leha-leha. Semua berjalan sesuai dengan koridor dan tugasnya masing-masing. Setiap kru yang bekerja lebih cekatan dan percaya diri. Sebagian bahkan berlari kecil ketika scene demi scene terlampau untuk menuju scene lainnya.