Meskipun keterlibatan plastik pada perubahan iklim nyata adanya, tetapi manusia seakan tidak bisa lepas dari penggunaan plastik, terutama plastik sekali pakai. Memang sudah banyak orang yang semakin sadar untuk mengurangi penggunaan plastik. Namun, dari orang-orang yang memiliki kesadaran tersebut, tidak semuanya melakukan tindakan nyata dengan beralih pada produk ramah lingkungan atau produk yang dapat dipakai berulang kali (reusable).
Jika diamati, sebenarnya terdapat penyebab mengapa masyarakat tidak mau beralih pada produk ramah lingkungan atau produk reusable. Penyebab yang paling umum adalah masalah harga. Produk ramah lingkungan dan reusable memiliki harga yang masih relatif mahal. Jika dibandingkan, sedotan kaca atau stainless steel tentu saja lebih mahal dari sedotan plastik biasa, begitu pun dengan bioplastic yang masih tergolong mahal dibanding kantong plastik biasa. Sedangkan sebagian besar masyarakat lebih mementingkan harga di atas kepeduliannya pada lingkungan, terutama kalangan menengah ke bawah. Jadi, selama produk ramah lingkungan masih lebih mahal, orang-orang akan tetap setia menggunakan plastik sekali pakai.
Penyebab lainnya adalah tentang efiensi alias gak mau ribet. Misalnya, karena gak mau repot bawa tumbler minuman ke mana-mana, jadinya lebih memilih membeli air mineral kemasan atau minuman yang menggunakan gelas plastik sekali pakai.
Di sisi lain, ada pula masyarakat yang mengabaikan masalah plastik bukan karena mereka tidak peduli pada perubahan iklim, tetapi lebih karena mereka tidak punya waktu untuk memahami masalah tersebut. Ini adalah hal yang umum terjadi di kalangan masyarakat pelosok, pinggiran dan masyarakat dengan ekonomi rendah. Alasan mereka lebih memilih plastik sekali pakai biasanya dilihat dari manfaatnya, harganya, dan kepraktisannya.
Dalam upaya menangani masalah plastik ini, peran pemerintah sangatlah penting. Hal dasar yang harus ditanamkan adalah kesadaran untuk beralih dari gaya hidup yang bergantung pada plastik sekali pakai. Presidensi G-20 Indonesia yang berlangsung tahun ini menjadi momen tepat untuk memulainya sebagai langkah nyata.
Untuk pertama kalinya, Indonesia memang menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang puncaknya akan dilaksanakan di Bali pada November 2022 nanti. Tema yang diusung pada G20 kali ini adalah “Recover Together, Recover Stronger” dengan tiga isu prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan. Permasalahan iklim sendiri menjadi salah satu hal penting yang dibahas pada pertemuan KTT G20.
Adanya agenda G-20 bisa menjadi ajang bagi pemerintah untuk menegaskan masyarakat supaya mengurangi penggunaan plastik dan beralih pada produk reusable. Ini merupakan kunci awal yang sangat penting, meskipun sudah mulai ada inovasi plastik ramah lingkungan dan inovasi-inovasi sejenisnya. Sebab, dengan bergantung pada inovasi tersebut secara tidak sadar masyarakat akan berpikir bahwa tidak masalah menghasilkan banyak sampah plastik karena pada akhirnya plastik-plastik itu dapat terurai secara alami. Pola ini akan memicu bertambahnya produksi sampah plastik, padahal masalah utamanya adalah jumlah pemakaian plastik yang masih terlalu banyak.
Untuk menumbuhkan kesadaran tentang pengurangan plastik sekali pakai dapat dimulai dari masyarakat perekonomian atas. Orang-orang kaya memiliki keuangan yang lebih baik, sehingga lebih mudah beralih pada produk ramah lingkungan dan reusable yang harganya mahal. Sedangkan untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan dan perekonomian bawah dapat diawali dari proses edukasi sederhana, misalnya memberi pembinaan untuk tidak membuang sampah di sungai beserta dampaknya, dan sejenisnya. Pendekatan yang dilakukan sesuai dengan tingkat pendidikan dan ekonomi seperti ini tentu akan lebih adil bagi semua kalangan dan tidak membebankan salah satu sisi.
Upaya melepaskan diri dari penggunaan plastik sekali pakai memang sangat sulit. Menanamkan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya hal tersebut juga bukan perkara mudah. Untuk itu, 1000 Aspirasi Indonesia Muda diperlukan guna membantu mengatasi masalah ini melalui tindakan nyata yang diterapkan di berbagai lapisan masyarakat.