BABS atau buang air besar sembarangan merupakan suatu tindakan membuang tinja di tempat terbuka, seperti di ladang, semak, hutan, parit, sungai, atau ruang terbuka lainnya, tanpa menggunakan struktur bangunan yang dirancang semestinya untuk penanganan kotoran manusia, seperti jamban atau toilet. Buang air besar sembarangan biasanya dikaitkan dengan daerah pedesaan dan pinggiran perkotaan, terutama permukiman kumuh padat penduduk. Dari data yang dikeluarkan oleh BAPPENAS dan UNICEF pada tahun 2022, masih ada lebih dari 15 juta orang di Indonesia yang masih belum bisa mengakses jamban sehat.
Terdapat beberapa alasan yang membuat masyarakat tidak bisa mengakses jamban sehat, diantarnya karena terbatasnya kemampuan finansial dan kurangnya dukungan pemerintah setempat dalam menyediakan fasilitas sanitasi yang layak. Mengutip dari situs sanitariankit, jamban sehat harus mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas kloset jongkok atau kloset duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran air untuk membersihkannya.
Dikutip dari situs The Conversation, Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat, menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan sosial dan budaya penduduk kelas bawah untuk saling berbagi. Dalam kasus akses toilet, ternyata masih banyak masyarakat yang menggunakan toilet komunal, artinya, toilet ini digunakan lebih dari satu keluarga. Tersedianya akses toilet tidak serta-merta membuat masyarakat tertarik untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Pada akhirnya, tetap saja masih ada masyarakat yang lebih memilih buang air besar di tempat terbuka, apalagi di beberapa permukiman padat penduduk ketersediaan toilet komunalnya masih terbatas sehingga membuat orang yang tidak tahan antri berlama-lama, lebih memilih buang air besar sembarangan di sungai atau ruang terbuka lainnya. Praktik buang air besar sembarangan harus cepat dihentikan karena berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan.