Ketupat dan mudik jadi tradisi di keluarga saya. Kalau gak mudik, berarti bikin ketupat plus opor ayam dan teman-temannya untuk disantap kala Lebaran datang. Tapi kalau mudik, puasa dulu sama pasangan ketupat dan opor ayamnya.
Nah, dulu waktu masih pakai seragam putih merah sampai putih abu-abu, keluarga saya rutin membuat ketupat cs dibanding mudik. Setelahnya, mudik ke kampung halaman ibu dan bapak menjadi lebih masif dilakukan.
Biasanya saat mudik pun ramai, ada beberapa keluarga dalam sejumlah mobil. Kami konvoi menuju kampung halaman, dan gak cuma satu tapi beberapa kampung halaman yang disambangi, mulai dari Semarang, Madiun, Magetan hingga Malang. Kadang kalau libur Lebaran lebih panjang, tenaga masih kuat, budget masih cukup, kami sempatkan mampir ke daerah sekitar, sekadar ingin menikmati alam sambil kulineran.
Karena saya kerja di media, tiap kali mudik selalu membawa laptop dan perlengkapannya. Harus ready Work from Anywhere (WFA), kadang di dalam mobil yang melaju, kadang di mobil yang berhenti karena macet atau istirahat. Kadang juga di sela-sela halalbihalal kalau kebagian jadwal masuk bertepatan dengan Idul Fitri hari pertama seperti tahun lalu. Bahkan ketika sedang rekreasi atau berkunjung ke rumah saudara yang jaraknya cukup jauh: laptop, charger, handpone, powerbank jadi perlengkapan yang wajib di dalam tas.
Untuk memudahkan kerja di mobil, saya membeli meja laptop yang dipasang di belakang kursi depan. Tapi biasanya hanya digunakan ketika macet, mobil berjalan lambat atau sedang berhenti. Ketika di tol atau mobil melaju kencang, saya memilih menggunakan handphone untuk bekerja.
Saban tahun, hal ini sudah menjadi kebiasaan. Kelihatannya ribet ya? Tapi sebenernya gak ribet-ribet banget asal bisa tetap fokus dan menikmatinya. Positifnya lagi, mata bisa dimanjakan dengan pemandangan indah, sawah, bukit atau pegunungan saat bekerja di dalam mobil yang melaju loh.
Saya memilih Lebaran di kampung meski gak bisa full libur karena suasananya beda, keramaiannya lebih terasa, dan kenangannya lebih berkesan. Biasanya di hari terakhir Ramadan di Madiun, selepas Isya, suara takbir tidak hanya terdengar dari musala atau masjid, anak-anak biasanya jalan kaki berkelompok, mengenakan baju rapi dan peci. Mereka mengumandangkan takbir, kadang sambil membawa obor dan menyalakan kembang api.
Ada juga kelompok pemuda bersepeda motor mengekor mobil pickup yang sudah dihiasi dengan nuansa Lebaran, masjid dari kardus hingga ketupat dengan nuansa warna hijau. Mobil tersebut mengangkut sejumlah anak muda yang meneriakan takbir atau menyalakan rekaman takbir melalui speaker besar dengan suara superkencang.
Lebaran tahun lalu, karena rumah yang kami tinggali di pinggir jalan utama, suara takbir yang sangat kencang dari speaker besar menyebabkan alarm mobil menyala, membuat bapak yang ketiduran di ruang keluarga auto bangun. Bapak akhirnya memilih berbincang dengan sepupu sambil menikmati keramaian malam Lebaran dari teras rumah.
Keseruan lainnya, setelah salat Id, usai bermaaf-maafan dengan keluarga inti, kami akan dikunjungi tetangga atau kami akan keliling kampung, biasanya ke rumah orang yang dituakan. Setelah itu, kami akan kumpul di rumah saudara tertua bapak, bermaaf-maafan, bagi-bagi angpau, makan-makan hingga berbagi cerita kehidupan. Seru!
Karena bapak keluarga besar, tidak semua tamu yang hadir, saya kenal. Namun dari reunian Lebaran, kadang saya baru tahu si A yang kemarin ketemu di jalan ternyata masih saudara atau si B yang kemarin papasan saat sepedaan ke sawah ternyata juga sepupu saya.
Sisa keseruan lainnya saat kumpul-kumpul adalah makan-makan. Ada lontong, opor, ayam panggang, sambal goreng kentang hingga tempe bungkus yang rasanya maknyus.
Soal makanan, saya suka mencicipi kuliner daerah. Kalau di Madiun yang terkenal dengan pecelnya, biasanya saya memilih makan itu. Bukan ke depot Nasi Pecel 99 Madiun yang terkenal karena pernah didatangi Pak SBY, iya Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, tapi pecel dibungkus daun jati dekat rumah yang harganya cuma Rp5 ribuan tapi rasanya gak kalah enaknya.
Selain pecel, ada tepo tahu yang jarak warungnya sedikit lebih jauh dari rumah, harganya juga murah. Soal rasa juga juara di lidah saya. Ada juga tahu dan tempe petis di Alun-Alun Madiun yang rasanya gurih pedas kesukaan saya.
Ketika di Malang, sudah pasti pilihan saya jatuh pada rawon atau bakso Malang. Kalau di Semarang, saya suka makan tahu gimbal yang jualan di halaman Masjid Baiturrahman Simpang Lima, nasi pindang di Jalan Gajah Mada, soto bangkong, gudangan atau bubur terik dekat rumah pakde saya.
Yummy semuanya. Saya gak hobi makan tapi suka mencicipi makanan khas daerah, alhamdulillah kalau rasanya cocok di lidah. Selain kulineran, saya juga suka menikmati keindahan alamnya yang memanjakan dan menyejukan mata.
Jadi mudik bagi saya, gak cuma macet-macetan demi bisa reunian dan silahturahmi ketemu keluarga besar tapi waktunya kulineran panganan daerah sambil jalan-jalan menikmati keindahan alam bersama keluarga.
Selamat Lebaran ya, Mohon Maaf lahir dan Batin.