Jakarta, IDN Times - Tahun 2022 akan menjadi tahun konsolidasi bagi industri berita yang telah terganggu dan digembleng oleh krisis COVID-19 yang berlarut-larut. Baik jurnalis maupun khalayak konsumennya, sampai taraf tertentu, telah 'terbakar', sangat lelah oleh intensitas agenda berita yang tiada henti, di samping perdebatan yang semakin terpolarisasi tentang politik, identitas, dan budaya. Tahun ini bisa menjadi tahun ketika jurnalisme sejenak mengambil napas, kembali fokus pada hal mendasar dan berupaya kembali lebih kuat.
Demikian pembuka dalam laporan eksekutif hasil Survei Tren dan Prediksi Jurnalisme, Media dan Teknologi yang diluncurkan Reuters Institute for The Study of Journalism, pada pertengahan Januari 2022.
Laporan ini ditulis oleh Nic Newman, periset senior di lembaga penelitian media itu. Dia menjadi penulis utama Digital News Report sejak 2012. Kali ini saya termasuk yang diundang menjadi responden survei.
Survei ini melibatkan 246 responden yang mengisi halaman survei pada bulan November dan Desember 2021. Responden berasal dari 52 negara termasuk Indonesia. “Mereka kami undang berpartisipasi karena memegang posisi senior (di editorial, komersial, atau produk) bagi di penerbitan tradisional maupun digital, dan kami anggap ikut bertanggungjawab dalam strategi pengembangan media dan digitalisasi,” kata Newman.
Laporan ini menyajikan, di banyak bagian dunia, jumlah konsumen media berita menurun sepanjang tahun 2021. Ini bukan situasi yang ideal pada saat informasi yang akurat dan andal sangat penting bagi kesehatan dan keamanan masyarakat. Tantangan utama bagi media berita tahun ini adalah untuk mengajak kembali mereka yang telah berpaling dari berita – serta membangun hubungan yang lebih dalam dengan lebih banyak konsumen berita reguler.
Perubahan generasi juga akan terus menjadi tema utama, yang mengarah pada pencarian jiwa internal di ruang redaksi tentang keragaman dan inklusi, tentang agenda yang muncul seperti perubahan iklim dan kesehatan mental, dan tentang bagaimana jurnalis harus berperilaku di media sosial.
Di sisi bisnis, banyak organisasi berita tradisional tetap fokus tanpa henti pada transformasi digital yang lebih cepat karena meningkatnya biaya kertas dan biaya energi membuat media cetak tidak berkelanjutan di beberapa negara. Memungut biaya untuk berita daring adalah tujuan akhir bagi banyak orang, tetapi situasi lelah berlangganan dan membayar, adalah tantangan yang membatasi kemajuan, terutama jika kondisi ekonomi memburuk.
Setelah periode di mana pendapatan iklan digital disedot oleh platform teknologi raksasa, penerbit memiliki kesempatan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik tahun ini. Aturan privasi yang lebih ketat yang membatasi data pihak ketiga, bersamaan dengan kekhawatiran tentang misinfomasi (dan berita bohong), mengubah arus pencarian informasi kembali ke merek tepercaya, tetapi periklanan tetap menjadi bisnis yang kompetitif dan menantang, dan tidak setiap penerbit akan berkembang.
Sementara itu pembicaraan tentang regulasi platform menjadi nyata tahun ini karena Uni Eropa dan beberapa pemerintah mencoba untuk lebih mengontrol teknologi besar. Namun, teknologi generasi berikutnya seperti kecerdasan buatan (AI), cryptocurrency, dan metaverse (dunia virtual atau semi-virtual) telah menciptakan serangkaian tantangan baru bagi masyarakat serta peluang baru untuk terhubung, menginformasikan, dan menghibur.